Wajah Islam di pentas global, agaknya selalu beriring dengan label anarkis dan anti kebebasan. Label fundamentalis, ektrim dan bahkan teroris seakan sangat akrab dengan komunitas muslim. Generalisasi perilaku ‘sekelompok’ muslim yang melakukan kekerasan tersebut seringkali menjadi justifikasi wajah Islam sebagai agama, sehingga label-label negatif tadi selalu pantas untuk diembelkan dengan Islam. Lantas, benarkah Islam sebagai dogma mempunyai agenda kekerasan? atau justru Islam itu sebenarnya yang selalu membawa pesan perdamaian?
Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia, karena dalam kedamaian itu terciptanya dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai perdamaian. Oleh  karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh  Allah SWT ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin. QS. 21:107) dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad semata. Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-Islām. Menurut Muhammad al-Ghazāli, dalam bukunya al-Ta’aşşub wa al-Tasāmuh Bayn al-Masihiyah wa al-Islām, secara leksikal dalam bahasa al-Qur`ān, Islam bukan nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut mereka.
Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasāmuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum mushrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan dan kedamaian.
Di antara bukti konkrit dari perhatian Islam terhadap perdamaian adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah) yang oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta para pakar politik Islam disebut sebagai konstitusi negara Islam pertama. Piagam Madinah menjadi instrumen penting atas kelahiran sebuah institusi yang berorientasi pada perdamaian dan kebersamaan. Hal inilah yang menarik, sehingga para pakar sejarah dan ilmuwan sangat interested terhadap permasalahan ini. Karena lahirnya sebuah negara yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan kebebasan kepada rakyatnya belum pernah terjadi di seantero jagad raya ini, terlebih di kawasan Arab. Penting untuk diingat, bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal yang terkandung dalam Piagam Madinah sangat jauh lebih tua ketimbang isu HAM yang dijual oleh  PBB yang tercermin dalam The Universal Declaration of Human Right pada Desember 1948.

Perdamaian dalam Pemahaman Fiqh
Dalam ungkapan teks agama, perdamaian sering dibahaskan dengan al-aman, kemudian oleh ulama fiqh, dalam terjemahan sistem formalnya, perdamaian sering dibahaskan dengan al-sulh, al-hudnah, al-mu’ahadah dan aqd al-zimmah. Dalam kamus al-Muhit karangan Fairus Abadi, al-sulh disepandankan dengan al-salam. Keduanya mempunyai arti yang sama yaitu peace, yang jika diterjemahkan berarti perdamaian dan kerukunan. Namun dalam terminologinya, al-şulh adalah perpindahan dari hak atau pengakuan dengan konpensasi untuk mengakhiri atau menghindari terjadinya perselisihan. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya perdamaian setelah adanya pertikaian atau takut terjadinya perselisihan dengan melakukan upaya preventif terhadap hal tersebut. Lain lagi menurut Ibn Qudāmah, al-Sulh berarti sebuah kesepakatan (ma’āqadah) yang berorientsi pada perbaikan antara dua pihak yang bertikai. Sedangkan Prof Zuhayli mendefinisikan al-Şulh sama dengan al-Hudnah yaitu berdamai atau gencatan senjata (muşalahah) dengan ahl al-harb (musuh perang) untuk menghentikan perang dalam batas waktu tertentu dengan konpensasi dan tetap mengakui agamanya atau tidak, meskipun tidak di bawah otoritas pemerintah Islam. Sedangkan terminologi al-amān, adalah sebuah kesepakatan untuk menghentikan peperangan dan pembunuhan dengan pihak musuh.
Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa konsep al-Şulh lebih umum, karena tidak spesifik berkaitan dengan perdamaian dalam posisi sebagai lawan perang. Hal ini karena al-sulh merupakan solusi atas dimensi konflik yang terjadi dalam semua lini interaksi sosial, dari komunitas yang paling kecil hingga yang paling besar. Hal ini terlihat dari beberapa bentuk klasifikasi al-Sulh yang di antaranya adalah:1) Perdamaian antara penegak keadilan dengan kelompok separatis (ahl al-baghy). 2). Perdamaian antara suami istri ketika takut terjadinya perceraian. 3). Perdamaian antara dua sengketa pembunuhan. 4).Perdamaian antara kaum muslimin dengan kaum kafir. 5).Perdamaian dua sengketa dalam harta. 6).Sedangkan al-amān terdiri dari dua bentuk, yaitu yang bersifat khusus (khās) dan umum (‘ām). Perjanjian perdamaian yang bersifat khusus yaitu yang terdiri dari kelompok dengan jumlah terbatas, sedangkan yang umum adalah dari jumlah yang tidak terbatas dan yang berhak melakukan negoisasi perundingan perdamaian adalah pemimpin.
Semua konsepsi pengertian perdamaian seperti yang tersurat di atas merupakan wacana damai dari sudut pandang fiqhiyah, dan itu umumnya masih dilatarbelakangi oleh adanya klasifikasi wilayah yang berdasarkan identitas agama, seperti dār al-islām dan dār al-harb. Bahkan lebih spesifik lagi, menurut Sidiq Hasan, bentuk wilayah Islam ada tiga kategori, yaitu: (a. wilayah al-haram yang tidak boleh dikunjungi oleh  kaum kafir dalam kondisi apapun baik kafir dhimmi maupun harbi. (b). Hijaz yaitu daerah yang meliputi Yamamah, Yaman, Najd dan Madinah. Daerah kawasan ini boleh dikunjungi oleh  kaum kafir dengan proses perizinan, akan tetapi tidak boleh bermukim melebihi tiga hari seperti laiknya musafir. (c). Seluruh daerah-daerah kawasan Islam. Daerah ini bermukim bagi kaum kafir setelah ada perjanjian damai. (M Sidiq Hasan, al-Din al-Kholis, 1995). Meskipun saat ini ada yang beranggapan bahwa klasifikasi itu tak lebih dari fiksi belaka, mengingat realitas hubungan dunia global, hampir semua negara dari pelbagai latar belakang ideologi telah menjamin persahabatan.
Banyak kalangan memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa perang atau konflik. Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi negatif perdamaian. Secara negatif, perdamaian didefinisikan sebagai situasi absennya perang dan/atau berbagai bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini memang sederhana dan mudah difahami, namun melihat realitas yang ada, banyak masyarakat tetap mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi perdamaian positif. Definisi positif dari perdamaian adalah absennya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial. Perdamaian dalam konsep ini meliputi semua aspek tentang masyarakat yang baik, seperti: terpenuhinya hak asasi yang bersifat universal, kesejahteraan ekonomi, keseimbangan ekologi dan nilai-nilai pokok lainnya. Berdasarkan konsep ini, perdamaian bukan hanya merupakan masalah pengendalian dan pengurangan tercapainya semua aspek tersebut, namun perdamaian merupakan konsep yang cukup luas dan pencapaiannya membutuhkan proses yang panjang. Untuk mencapai kondisi tersebut, kita memerlukan suatu gerakan yang sinergis, bukan gerakan yang terpisah-pisah. Maka, gerakan yang memperjuangkan hak kaum lemah, tuntutan supremasi hukum, atau gerakan yang menentang pelanggaran hak azazi manusia, dan sebagainya seharusnya tidak lagi dilihat sebagai suatu gerakan yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan suatu gerakan yang selaras dengan tujuan yang sama, yaitu perdamaian.
Berdakwah “Islam Damai” di Masyarakat
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa berdakwah atau berbicara pada masyarakat mengenai Islam damai? Membicarakan Islam dalam konteks perdamaian dan pluralisme memang bukan sesuatu yang mudah. Jika pembicaraan dimulai dari doktrin ajaran, orang seringkali terjebak dalam cara pandang tekstual dan dogmatis. Hal ini terjadi tidak saja pada mereka yang berposisi ekstrem dan anti pluralis atau yang biasa disebut kelompok Islam Radikal, tetapi bahkan terjadi pada mereka yang berposisi liberal dan pluralis. Kecenderungan tekstual itu menjebak orang karena ketergantungannya pada teks-teks agama yang dijadikan sebagai sumber istidlal (mengambilan dalil hukum) bagi argumen masing-masing.
Contoh ayat:
  1. Wa qotilu fi sabilillahi al-ladzina yuqotilunakum wala ta’tadu, innallah la yuhibbul mu’tadin (Al-Baqarah:190): “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. Ayat ini sering dimaknai sebagai ajaran untuk perang (dengan kekerasan sekalipun) dengan kelompok lain yang dianggap memerangi Islam. Ayat ini akan berhadapan dengan ayat:
  2. ...man qotala nafsan bighoiri nafsin aw fasadin fi al-ard, fakaannama qotala al-nasa jami’an wa man ahyaha nafsan fakaannama ahya al-nasa jami’an...(Al-Maidah:32): “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[411], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya[412]. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia”. Ayat ini sering digunakan oleh orang yang anti-kekerasan bahwa “membunuh satu jiwa sama dengan membunuh umat manusia, sebaliknya menyelamatkan satu jiwa sama dengan menyelamatkan umat manusia”. Hukum ini mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.

Kita bisa lihat kemudian, bahwa argumen yang digunakan sebagai yang “kebenaran” adalah teks ayat. Kemudian masing-masing akan berdalih kedua ayat ini memiliki tafsirnya sendiri-sendiri.
Sebenarnya membangun argumen seperti ini bukan salah atau keliru, karena memang pembicaraan kita bukan pada klaim “paling benar” dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Karena klaim kebenaran, menurut teori konflik, akan selalu melahirkan tandingan atau lawan. Pembicaraan kita tentang “Islam damai atau tanpa kekerasan” ini dalam konteks bagaimana kita bisa menghayati dan menghadirkan “Islam yang damai” ini dalam kehidupan masyarakat.

Menyelami agama yang hidup di masyarakat

            Saya punya refleksi yang ingin saya share di sini dalam kerangka pencarian bahasa yang tepat dalam menghadirkan “Islam damai” tersebut dalam kehidupan masyarakat. Kata “menghadirkan” di sini untuk konteks aktualisasi kita ini, meskipun tentu juga bisa, untuk bahasa dakwah bagi para da’i. Ada beberapa tahapan yang bisa kita lakukan:
  1. Pertama, kita sebelum mengatakan “sesuatu” tentang Islam, sangat mendasar dan penting bagi kita adalah memahami rasa keberagamaan (sense of religiousity) masyarakat. Apa arti agama bagi masyarakat? Pertanyaan ini sangat penting untuk ditelusuri jawabannya secara cermat, agar kita dapat menemukan “bahasa” yang akrab dan mengandung kedalaman makna bagi mereka. Masyarakat selama ini hidup dalam kenyataan pluralistik, yang secara alami dan kultural telah melahirkan “bahasa-bahasa” sosial dalam mengelola perbedaan dan keberagaman tersebut.
  2. Setiap agama selalu memiliki doktrin yang memang telah membentuk makna bagi mereka. Misalnya, dalam suatu pernikahan bagi orang Islam, siapapun (apakah dia setiap hari menjalankan syariat Islam yang taat atau tidak) akan mengucapkan “akad nikah” sebelum dia merasa sah dan resmi boleh “menyentuh” istrinya. Hal seperti ini jarang diperhatikan orang, mengapa akad itu begitu berarti bagi mereka? Kemudian ajaran tentang alam dunia, alam kubur, alam akhirat dan sebagainya, punya makna yang besar, sehingga jika diingat soat itu hampir tidak ada yang berani menolak. Masih banyak lagi jenis-jenis doktrin, yang telah menjadi ritus dan norma sosial. Begitu halnya dengan Al-Qur’an, kita harus bisa memahami secara cermat makna Kitab suci tersebut bagi masyarakat. Pandangan dan penggunaan Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat tidak selalu menjadi “sumber hukum” seperti bagi para fuqoha’. Al-Qur’an menjadi tombo ati (obat hati) misalnya, sehingga sering ada anjuran bila sedang resah, bacalah Al-Qur’an. Ini contoh betapa kulturalnya makna Al-Qur’an bagi masyarakat. Jauh dari asumsi para pemikir bahwa Al-Qur’an akan selalu menjadi sumber hukum yang akan mengatur kehidupan sosial.
  3. Cermati, kapan agama menjadi motif utama bagi aktivitas masyarakat dan kapan tidak? Setiap orang dalam melakukan sesuatu biasanya selalu memiliki motif-motif, yang bisa berubah-ubah, tergantung konteks peristiwanya. Moment perubahan-perubahan motif tersebut seharusnya bisa didentifikasi, meskipun tidak akan tepat betul, tetapi setidaknya mendekati benar. Ini penting agar kita dapat mendeteksi masalah apa yang mendasari suatu peristiwa.
Ketiga hal di atas menjadi tahapan metodologis, menurut saya, untuk sampai pada pemahaman “Islam yang damai”.

Islam yang Damai

            Dengan demikian, pengertian tentang Islam yang damai sebenarnya sangat lokalistik dan kultural. Ia bukan Islam yang secara institusional dan formal menjadi norma yang kaku bagi sosial budaya di tempat lain. Karena sebenarnya pengalaman penghayatan Islam di suatu tempat akan berbeda dengan tempat lain. Misalnya Islam Arab dan Islam Indonesia atau bahkan di Amerika. Konteks sosial budaya yang melingkupi mereka akan berpengaruh pada cara hidup beragama masing-masing untuk mencapai kedamaian hidup mereka.
            Di Indonesia, “Islam yang damai” adalah Islam yang hidup dalam sejarah sosial budaya masyarakat, yang telah berpengalaman hidup berdampingan dengan agama lain sejak lama, yang tidak legal-formalistik dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi umatnya, dan bisa menyembuhkan masyarakat dari “penyakit” sosial. Bagaimana dengan doktrin agama yang kaku dan “benar” sendiri? Kita bisa lihat kemudian, ada penyiasatan-penyiasatan kultural yang sering dilakukan masyarakat terhadap “doktrin-doktrin” yang terasa kaku dan formalistik tersebut. Lalu di mana “kebenaran”? Kebenaran hanya milik Allah SWT dan itu berada dalam keyakinan masing-masing kita, sementara dalam praksis sosial yang utama adalah “bagaimana kehidupan yang damai, sejahtera dan maslahat dapat berlangsung”. Bukan tujuan syari’at juga demi kemaslahatan? ...wa maqodisu as-syari’ah li masholihi al-ummah... Wallahu a’lam bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERTANYAAN PERTAMA PADA SUAMI DAN ISTRI (lanjutan kitab uqudulujain)