Apa
yang bisa diharapkan dari secangkir teh?
Seolah ada yang tak sederhana dari pertanyaan ini. Seperti diucapkan oleh
Hecule poirot, dalam nuansa redup ruangan, ketika aroma remah kelopak melati
melayang-layang. Namun sesuatu yang samar seperti sedang atau telah terjadi.
Sesuatu yang – oleh penggemar kisah misteri – menjadi awal ketegangan.
Ya.
Dengan kandungan yang terdiri dari cathecin, kafein teh, antibiotik dan entah
apalagi, maka diolah dengan cara apapun, pastilah gizi dalam teh bukan sesuatu
yang sebanding dengan susu. Tapi neneku berharap terlalu banyak. Dirasanya teh
cukup layak untuk diposisikan sebagai pengganti susu.
Maka,
hamper setiap subuh, untuk mengawali hari, cerah atau tersaput mendung, yang
dilakukan nenek pertama kali adalah menjerang air penyeduh teh. Sesudah itu
baru dibukanya kandang kandang ayam si burik dan si jago beserta anak-anaknya.
Beberapa genggam jagung ditaburkan untuk sarapan ayam-ayam itu. Cukup sekali
sehari, selebihnya keluarga besar ayam itu akan berkelana di kebun untuk
mengais makan siangnya sendiri.
Sesaat
kemudian airpun mendidih, lalu dituang untuk menyeduh sejemput daun hitam the
di teko. Dilengkapi beberapa sendok gula pasir, segera air panas itu akan
menjadi cairan coklat pekat yang manis dan sepat dan menguapkan aroma wangi
yang khas.
"
minumlah. " nenek menuang secangkir the untukku. " tak ada cukup uang
untuk membeli susu, tapi the ini akan sanggup mengenyangkan perutmu sampai
siang nanti."
Berteman
kue serabi atau ketan dengan taburan kelapa parut dan bubuk kedelai, itulah
sarapanku boleh dikatakan aku setiap hari sebelum berangkat sekolah. Semacam
ritual, atau upacara kecil yang membuat sukma lebih percaya diri dalam
mengarungi hari.
Nenek
selalu mengira bahwa rasa kenyang yang munculsesudah melahap the dan kue serabi
itu akan memberi manfaat yang sebanding dengan
komposisi gizi yang terdapat dalam susu. Barangkali harapan yang berlebihan
walau tidak terlalu keliru. Kenyataanya, aku cukup sehat selama itu. Tulangku
juga tidak merapuh meski ku pakai berjalan sepanjang 2 km pergi pulang ked an
dari sekolah tiap hari.
Sampai
sekarang pun aku tidak merasa memerlukan susu untuk menu sarapanku, meski andai
mau, bias ku beli berlusin-lusin kotak susu. Gaji bulananku sebagai manajer
keuangan cukup untuk membeli merk susu termahal sekali pun. Secangkir the tetap
menjadi menu sarapan pilihanku. Meski tak ada lagi kue serabi karena bukan hal
mudah untuk menemukan penganan gurih lembut itu, di kota sebesar ini.
Ayahku
memiliki harapan yang berbeda pada secangkir the. Setiap kali ku tuangkan
secangkir tehuntuknya di sore hari, selepas pulang kantor di kecamatan, selalu
dimintanya aku duduk bersamanya di beranda. Banyak hal diperbincangkan,
kejadian sehari-hari yang menurutnya pantas untuk dibagi kepada anak perempuan
satu-satunya. Tentang kemarau yang terlalu panjang, misalnya. Atau perihal
pohon-pohon tua di sisi lapangan kecamatan yang sudah saatnya ditebang dan
digantikan dengan batang yang lebih muda. Kadang-kadang juga mengenai petani
yang mengeluh karena pembagian air yang mengeluh karena pembagian air irigasi tidak
merata dan harga pupuk semakin tinggi.sekali ayah mengizinkanku melihatnya
membersihkan keris yang hanya sebilah itu, meski melarangku menyentuh warangan,
serbuk pembersih keris yang sangat jarang dipergunakanya.
Dan
suatu senja is menyampaikan keinginan. " kelak, temanilah selalu suamimu
menikmati secangkir tehnya. Pasti hatinya tak akan berpaling ke mana pun. Di
akan selalu rindu rumah, tempat kamu berada di dalamnya. Sebuah tempat teduh
yang tiada duanya. "
Itu
kalimat bijak – atau doa? – seorang ayah untuk putrinya. Berharap nasihat
sederhana itu akan berguna sebagai bekal semata – wayang ketika mengarungi
bahtera pernikahan. Ayah tau bahwa biduk pernikahan itu akan melewati gelombang
yang dahsyat sehingga diperlukan
pengikat yang kuat untuk tetap bertahan di dalamnya. Ucapan yang ingin
meyakinkan dirinya, namun entah kenapa, justru menampakkan rasa bimbang.
Mengapa harus ada kekuatan itu?
Di kemudian
tahun, ketika ku temukan seorang laki-laki yang akirnya menjadi suamiku, ku
laksanakn petuah bijak ayah. Selalu kuhidangkan seduhan the terbaik untuk
suamiku, sejak awal menjadi istrinya. Pagi atau petang hari. Aku berusaha tidak
beranjak sekejap pun dari sisinya, kecuali untuk mengambil sesuatu yang
diperlukanya dengan segera. Koran, misalnya, atau sigaret dengan pemantiknya.
Atau, ah, mengapa harus lekat dalam ingatan?
Agaknya
perkiraan ayahku keliru. Sesuatu yang cukup kuat untuk mengikat hati beliau
ternyata tidak berlaku untuk suamiku. Apa pun yang kulakukan tidak pernah cukup
berarti untuk menghentikan keluhanya. Juga ketika dengan sabar aku menunggu dia
menuntaskan hasrat biologisnya atas tubuhku. Tak adakah inisiatifmu untuk
membalas gairahku? Ini lebih mirip bercinta dengan sebatang pohon atau guling,
bedanya kau punya sesuatu yang basah dan mereka tidak, " ucapnya terengah
menyudahi keliaranya. Lebih mirip bentakan setajam karat kelewang.
Baiklah. Tanpa kata-kata aku mengaku keliru. Lalu ku baca
banyak buku tentang hal-hal semacam itu. Juga bertanya kepada teman-temanku.
Aku bahkan berkonsultasi dengan pelatih kebugaran yang kutahu sering
mengajarkan senam tertentu pada perempuan.
Selanjutnya, mungkin aku pandai meliuk selentur balerina
dalam keadaan berbaring. Kini aku, dengan sedikit rasa was-was, mulai pintar
mengerang panjang, mengeluh bagai sapi. Sesuatu yang aku sendiri tak berminat
mendengarnya.
" apa yang kau lakukan? Kau begitu liar mirip kuda
banal yang tak menemukan pejantan di musim kawin. Ini lebih mirip bercinta
dengan pelacur, bedanya aku tak perlu membayarmu," begitulah ungkapan
reaksinya.
Aku tak hendak mengingatnya, sungguh. Rasa malu itu
memberangus sekalisus wajah dan perasaanku. Karena aku seperti memerankan
seorang penari tayub yang kesurupan. Aku lebih wiring ketimbang yang
kupikirkan.
Untunglah masih ku miliki sisa-sisa kesabaran ayahku.
Warisan yang aku syukuri dengan perasaan pedih. Aku kembali pada kesabaranku
dan berpikir bahwa barangkali nasihat orang bijak tak selalu universal,
melainkan hanya berlaku untuk orang dengan kebijakan yang setara. Suamiku
rupanya memiliki kebijaksanaan yang berbeda.
Ibuku
juga memiliki harapan yang berbeda pada secangkir teh. Ibu tidak pernah
menikmati teh hangat. Secangkir teh hangat yang dituangkan nenek untuknya
setiap pagi, selalu dibiarkan menjadi dingin hingga tengah hari. Lalu akan
dicampurnya dengan potongan es baku, yang kemudian memunculkan titik-titik
embun yang membasahi seputar dinding cangkir. Selepas makan siang baru
direguknya dengan puas sa teh itu. Dengan sekali teguk, biasanya, teh dingin di
cangkir itu langsung tandas. Memang begitulah ibu, selalu melakukan sesuatu
dengan serba cepat namun terencana. Ia menyesap minuman tidak memerlukan menit
hingga cangkir atau gelasnya kosong. Namun untuk menyiapkan tehnya, ia bersabar
hingga tengah hari. Ia selalu merencanakan demi kenikmatan beberapa jam yang
akan dating. Seperti yang selalu dilakukanya terhadapku.
" sudah selesai belajarmu? Selesaikanlah siang ini
sebelum pergi bermain. Nanti sore jangan lupa hidangkan teh untuk ayahmu,
gulanya sedikit saja. "
" Mengapa bukan ibu yang menyeduh teh sore untuk
ayah? Seperti yang dilakukan ibu teman-temanku," tanyaku suatu kali.
" tidak ada waktu untuk itu. Sore hari ketika para
karyawan pulang dari pabrik, maka kios ibu akan ramai pembeli. Dari mereka kita
peroleh uang untuk membayar uang sekolahmu. "
" bukankah sudah ada uang ayah, gaji dari kecamatan?
"
" sudah beruntungkalau gaji ayahmu cukup untuk makan
tiga kali sehari, itupun Cuma berlauk tempe-tahu atau kerupuk. Tak ada yang
tersisa untuk sekolahmu, bayar listrik, obat nenek…" sergah ibu dengan
suara mulai ketus.
Bila suara ibu beranjak naik begitu, maka nenek buru-buru
datang menuang teh di cangkir ibu, ditambahkanya beberapa potong es batu dari
termos. Segera, dingin es teh baru itu akan membasahi tenggorokan ibu dan
merendahkan kembali nada suaranya yang meninggi. Lalu nenek akan mengisyaratkan
aku untuk menjauh, sebelum kutemukan kembali pertanyaan-pertanyaan lain yang
bisa menyalakan kemarahan ibu. Karena hal itu akan membuat nenek memerlukan
banyak es teh untuk memadamkanya.
:" akan kemanakah? Tanyaku. Seolah kulihat pertanda
buruk pada kehidupanku.
" kesuatu tempat, ada urusan penting, "
jawabnya tanpa sekilaspun menoleh padaku.
" jangan pergi, " kataku degan harapan setipis
kabut. Bahkan ketika mengucapkanya, ada
keraguan mendapat jawaban setimpal.
"ini perjalanan terpenting dalam hidupku, tidak akan
kubiarkan seoranpun menghadang langkahku. "
" sekalipun itu aku? " suaraku menyempit jerit
yang tak tersampaikan.
" siapapun itu! " tegasnya bergeming.
Sebuah jawaban yang menyalakan kemarahanku. Nnnnnnnenek
sudah lama berpulang sehingga tak mungkin lagi ia menyiapkan es teh bagiku
untuk memadamkan bara kemarahan itu. Begitupun ayahku, sehingga tak tersisa
lagi kesabaranya yang pernah kumiliki, yang masih kusimpan adalah sisa
warangan, serbuk yang dulu di jauhkan ayah dariku karena teryata mengandung
senyawa kimiawi arsenikum, zat berbahaya yang tidak layak untuk tangan kecilku.
Kini hanya ibu yang masih bertahan mendampingiku, dengan rambut yang nyaris
seluruhnya putih keperakan.
Lalu, kusuduh secangkir teh. "minumlah dulu sebelum
berangkat, " kataku dengan kelembutan, yang entah dari mana datangnya,
melewati tungku api keter singgungan. " sssiapa tau akan jauh perjalananmu
dan tak tarsedia minuman sepanjang jalan itu. "
Suamiku ragu sejenak. Barangkali ia baru menyadari betapa
istrinya begitu penuh perhatian. Namun terdengar suara mobil dating, rodanya
gemeretak malindas kerikil di depan pagar.tentu itu sebuah taxi yang telah di
telefonnya dan tiba sebagai penjemput. Tanpa sempat menimbang keraguan lagi,
segera diraihnya cangkir dari tanganku dan menandaskan isinya tanpa menyisakan
setetespun. Ah, barangkali ingin diberikanya kepuassan terakhir, sebagai
penghargaan bagiku dengan mereguk teh hangat seduhanku.
Dan, berangkatlah dia. Aku tahu, sangat tahu, kemana dia
akan pergi. Sebaris pesan singkat pada ponselnya terbaca olehku sesaat lalu, sewaktu dia
mencukur jambangnya di kamr mandi.
" persiapan pernikahan kita sudah beres. Kita
bertemu di bandara sore ini. Datanglah segera, jangan membiarkanku menunggu,
sayangku…."
Pengirimnya tercatat dengan kode nama : kekasih. Alangkah
indahnya nama itu, sebaris huruf yang tak pernah terucap untukku. Aku di dalam
ponselnya tetaplah tertulis sebagai sebagai apa adanya namaku, sebanding dengan
beratus nama lain yang tersimpan di sana.
Aku seorang perempuan dan juga seorang istri yang
memiliki idiologi puritan, antipoligami. Tentu tidak akan ku biarkan suamiku
menikah lagi dengan orang lain, sementara buku nikah yang sah masih berada di
tanganku.
Apa yang bisa diharapkan dari secangkir teh? Barangkali
setiap orang akan memiliki harapan yang berbeda pada secangkir tehnya
masing-masing. Tapi ketika seduhan teh itu dilengkapi dengan setabur warangan,
tiada lagi harapan yang tersimpan selain satu hal: sebuah penyelesaian. Dan,
yang secangkir itu telah ditandaskan oleh suamiku. Melewati jalan licin
kerongkonganya langsung menuju lambung.
Secangkir teh itu akan menunaikan tugasnya dengan baik,
mengantar suamiku pada sebuah perjalanan yang terpenting dalam hidupnya. Bukan
ke bandara, tempat seseorang yang akan dinikahinya tengah menunggu; melainkan
pada sebuah perjalanan terakir yang akan dilalui setiap manusia.
Untu lebih melapangkan jalanya, tentu aku tak ingin
terjadi kehebohan sehubungan dengan " keberangkatannya ". akan kujelaskan
pada pihak yang berwenang bahwa suamiku memang mengidap penyakit tertentu,
sehingga tidak perlu ada otopsi, visum atau apa pun yang semacam itu.
Setidaknya, aku memang memiliki hasil periksa kesehatan lengkap tahunan dari
kantornya, yang kebetulan mengandung banyak keluhan.
Sesungguhnya di sini, di ruangan ini, tidak ada hercule
poirot. Tidak ada pertanyaan apa pun, dari siapa pun, walau memang ada aroma
remasan kelopak melati yang melayang-layang, terbang bersama kepulan uap teh
hangat yang ku seduh.
Aku
duduk dengan tenang. Setenang patung peri yang ditatah dari batu onyx. Menunggu
datangnya kabar hasil eksekusi itu. Entah melalui telepon dari bandara, dari
rumah sakit, atau justru dari sopir taksi langganan yang gugup itu. Ku reguk
teh di cangkirku sendiri.hangat, kental, wangi dan sedikit rasa pahit berpadu
dengan sempurna. Yang ini tentu tanpa warangan.
Komentar