Narkoba Menghancurkan Anak dan Ekonomi Bangsa
NARKOBA
MENGHANCURKAN ANAK
DAN EKONOMI
BANGSA
Oleh: Ahmad Fauzan
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama Al-Kamal Sarang Rembang
Email: father.fahri15@gmail.com
Abstrak
Produksi maupun pengedaran narkoba telah mengakibatkan
kerugian ekonomi tidak sedikit dan benar-benar sudah terbukti menghancurkan
anak bangsa. Meskipun dampaknya demikian ini, akan tetapi para produsen dan
pengedarannya terus saja melanjutkan aktifitasnya. Sejumlah pasar baru juga
dibuka untuk mengedarkan narkoba. Dalam kajian Islam, kalau penggunanya saja
bisa dihukum berat, maka produsen dan pelaku pengedarannya pun harus dihukum
lebih berat lagi. Hukuman ini diharapkan dapat mencegah meluasnya
penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Kata Kunci: narkoba, ekonomi, anak, hukuman
Abstract
Production and
trafficking of drugs has resulted in economic losses a bit and really proven
destroy the nation. Thus although the impact of this, but the producers and
circulated kept continuing its activities. A number of new markets also opened
to distribute drugs. In Islamic studies, if only users can be punished
severely, manufacturers and circulated perpetrators must be punished more
severely. Sentencing is expected to prevent the spread of drug abuse in
Indonesia.
Keywords: drugs,
economy, children, punishment
PENDAHULUAN
Dalam ajaran Islam digariskan mengenai
keharusan setiap manusia untuk tidak membelanjakan uangnya secara sia-sia atau
di jalan yang berlawanan dengan norma-norma yang dibenarkan agama (Islam). Hal
ini diatur supaya setiap pemeluk agama dapat menjalani kehidupan di jalan yang
menyelamatkan, menyehatkan, dan membahagiakannya.
Pengedaran obat-obat terlarang atau
narkoba semakin lama semakin memprihatinkan. Korban anak bangsa semakin lama
juga semakin banyak. Para pengedar terus saja tidak menghentikan pengederannya,
dan bahkan membuka pasar-pasar baru di tengah masyarakat. Mereka ini telah
terjerumus di jalan yang berlawanan dengan ajaran Islam.
Hampir setiap hari tiada berita
tanpa narkoba. Media massa tidak kenal
henti memberitakan pengedaran atau penyalahgunaan narkoba. Meski demikian, para
produsen dan pengedarnya seperti sudah mati rasa, karena mereka tidak mengenal
henti untuk memperdagangkannya.
Mereka juga sepertinya tidak kenal
takut dengan berbagai putusan pemberatan atau hukuman mati yang dijatuhkan oleh
hakim. Barangkali, mereka sudah menganut prinsip kalau mati itu bisa kapan saja
dan dimana saja serta dengan cara apa
saja, sehingga mereka tidak peduli dengan perbuatan yang dilakukannya.
PEMBAHASAN
Fenomena Penghancuran Anak
Bangsa
Putra mantan Ketua Umum PPP dan juga
mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, Ivan Haz tertangkap tangan saat membeli
narkoba bersama dengan beberapa prajurit TNI. Bersama Ivan ini juga ada oknum anggota DPR.
Kata yang tepat untuk menyikapi itu
adalah “memilukan” dan “memalukan”. Memilukannya, kasus tangkap basah itu makin
menggenapi sinyalemen selama ini kalau penyalahgunaan narkoba sudah merasuk ke
segala lapisan masyarakat. Sedang memalukannya, mereka itu kumpulan elemen
bangsa berpengaruh, yang seharusnya menjadi pejuang utama dalam pemberantasan
penyalahgunaan narkoba.
Apa yang menimpa putra mantan Wapres
itu sebenarnya mengingatkan kita atau semua elemen bangsa untuk melakukan
evaluasi. Setiap elemen bangsa yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba
merupakan anak-anak bangsa.
Di ranah sumberdaya manusia yang masih
poduktif atau berusia muda, kondisinya memang rentan tergoda menikmati gaya
hidup yang serba hedonis atau memuaskan kepentingan sesaat dan instan.
John Neisbith dan isterinya Patricia Aburdene
pernah meramalkan paska tahun 2000 akan banyak terjadi perubahan, mulai dari
perubahan gaya berpolitik, berkeluarga, bergaul, bercinta, membangun lembaga,
hingga menata budaya. Rupanya ramalan ini terbukti, setidak-tidaknya dapat
terbaca dalam pergumulan gaya
hidup pemuda, pelajar, dan mahasiswa.[1]
Apa yang disebut oleh Futurolog itu sebagai
sinyal kuat, bahwa di era globalisasi informasi dan budaya ini, masyarakat
dunia harus siap menghadapi, menyikapi, dan menyeleraskan atau mengadaptasikan
dirinya dengan akselerasi revolusi gaya
hidup. Pelajar, pemuda, dan mahasiswa
sejatinya pun dituntut untuk semakin cerdas dan profesional dalam menyikapi
perubahan besar di tengah lingkungannya.
Kalau mereka tidak mampu membaca dan
menyelaraskan diri dengan kecerdasan dan kebeningan moral dan intelektualnya,
jangan diharapkan akan tetap bisa menjadi pelaku sejarah yang sukses memproduk
aktifitas bermakna di muka bumi ini, terutama di lingkaran komunitasnya.
Terjebak Hedonisme Gaya Hidup
“Jika dalam diri seseorang masih
memberi tempat liberal bagi hedonisme (pemujaan kesenangan), maka para penjahat
akan terus menjadikannya sebagai lahan empuknya”, demikian
pernyataan Syafik A. Hasan[2]
yang sebenarnya mengingatkan setiap elemen sosial supaya tidak gandrung dengan perburuan kesenangan
seperti kepuasan instan.
Sayangnya,
tidak sedikit ditemukan elemen sosial di negara ini yang lebih memilih dan
menyukai pendewaan kesenangan atau perburuan kepuasan sesaat, meski kepuasaan
sesaat ini jelas-jelas menyesatkan dan potensial menghancur leburkan diri dan
orang lain.
Kasus
keterperangkapan anaknya mantan wapres, oknum TNI, dan lainnya menunjukkan,
bahwa kepentingan hedonisme ditempatkan dalam ranah superioritas. Mereka ini
seperti tidak berkutik ketika penjahat menjual dan menyebarkan narboba sebagai
“teror” yang mematikan dirinya. Dirinya
seperti sudah menyerah pasrah dilucuti dan dijadikan obyek mainan oleh para
produsen dan distributor narkoba.
Mereka
yang menyerah di tangan pebisnis narkoba itu tak ubahnya zombi (mayat hidup) di
belantara para mafia. Konsekuensi sebagai mayat hidup ini adalah menerima diperintah oleh pihak-pihak yang
menguasainya. Mereka kehilangan kecerdasan moral dan intelektualnya, tidak bisa
dan tidak terbiasa melakukan penolakan saat para pebinis narkoba menguasanya.
Konstruksi pikiran dan gerakannya selalu mengikuti rumus-rumus kapitalisme
kriminalitas atau doktrin-doktrin jagat bisnis sesat yang dikonstruksi pihak
yang mencengkeramnya.
Mereka
pun tampak sangat gampang dicengkeram atau dijadikan lahan empuk oleh pebisnis
narkoba. Mereka terseret dalam lingkaran ajakan dan desakan revolusi gaya hidup yang
menghancurkan masa depannya. Keterjebakan ini sebagai bagian dari kondisi hidup
remaja yang memang masih dalam proses pembentukan, sehingga cenderung lebih
mudah dipengaruhi untuk memasuki ranah hedonisme. Mereka ini mudah mengikuti
pola labelling, sehingga terkadang
nekad melakukan hal yang terlarang. Menurut Goffman,
bahwa labelling sering diartikan sebagai cap sosial atas seorang individu
sehingga terjadi semacam kontrol sosial atas diri seorang individu.[3]
Psikolog kenamaan Sarlito Wirawan[4]
menyebut, bahwa remaja merupakan masa-masa yang paling menyenangkan pada
umumnya. Fase perkembangan remaja merupakan masa yang paling rentan dan kritis.
Hal ini dimaksudkan karena masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari
perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia
memiliki batasan umur antara 11 tahun hingga 24 tahun dan belum menikah.
Mengapa
produsen dan pengedar narkoba demikian akseleratif dalam menjadikan Indonesia
sebagai pasar pengedaran atau penyalahgunaan? Bukankah sudah demikian banyak
para pelaku produksi dan pengedaran narkoba yang dihukum mati.
Memang
faktanya, sudah demikian banyak pelaku pengedaran narkoba yang berhasil dijerat
oleh aparat penegak hukum dan dijatuhi
hukuman mati oleh para hakim, akan tetapi putusan hakim yang sudah “mematikan”
hak hidupnya, tetap saja belum membuat agregasi perkembangan penyalahgunaan
narkoba berkurang, apalagi berhenti.
Pengaruh
hedonisme telah benar-benar membuat remaja atau anak muda terjerumus dalam gaya hidup yang membiusnya. Globalisasi dan pergaulan teman sebaya
mempengaruhi gaya
hidup remaja dalam ranah hedonisme. Hal ini terkait dengan konsumerisme yang dicerminkan
oleh pengunaan IPTEK, trend fashion dari media massa, transportasi serta alat telekomunikasi
yang kemudian membawa informasi kepada para remaja ini. Menurut Steven Miles,
konsumerisme merupakan suatu pola pikir atau tindakan dimana orang membeli barang
bukan karena dia membutuhkan barang melainkan karena tindakan membeli itu
sendiri memberikan kepuasan atau membuatnya menjadi senang. Dengan kata lain,
konsumerisme sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna, serta
memiliki fungsi sosial dan ekonomis.[5]
Pada dasarnya perilaku hedonis berlanjut dan
tidak bisa dihentikan ketika pelaku hedonis sudah tidak diterima di kalangan
remaja, sehingga pelaku hedonis sebisa mungkin mempertahankan gengsi atau
identitasnya agar tidak dijauhi oleh teman sesama hedonisnya. Cara ini tentunya
akan menimbulkan tekanan atau pressure
secara tidak langsung di dalam diri pelaku hedonis yang dituntut agar tetap
eksis serta mengikuti (berkiblat) gaya
hidup yang mewah meski di luar kemampuan remaja tersebut. Kebutuhan ini
mengarah pada munculnya hal-hal patologis atau timbulnya dan maraknya penyakit
sosial seperti mencuri, “menjual diri”, hutang dan juga masuk ke dalam jaringan
narkotika.[6]
Gaya hidup hedonisme juga berdampak pada perubahan
identitas si pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua
mereka dan memilih nilainilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan
kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya. Mengubah baju
sekolah mereka menjadi lebih menarik seperti membuat baju sekolah lebih ketat
dan rok pendek serta rambut tidak diikat dan diwarnai, dan mereka cenderung
memiliki prestasi edukasi dan lainnya yang rendah di sekolahnya. Tidak jarang
mereka bolos sekolah atau mengabaikan tugas-tugas sekolah selama beberapa hari hanya
untuk memenuhi hasrat “bersenang-senangnya”. Selain itu pelaku hedonis akan
lebih memuja atau menasbihkan uang dibandingkan dengan memuja atau mengimani keyakinannya
(Tuhan), lebih memilih untuk pergi ke mall, rekreasi ataupun pacaran daripada
ke tempat suci.[7]
Akhirnya, mereka itu tidak jera atau bibit-bibit
penyalahgunaan tetap tumbuh berkembang, tidak lepas dari praktik pemanjaan yang
diberikan oleh sejumlah oknum aparat penegak hukum yang memberikan beragam masih
terloibat dalam “praktik-praktik kotor”.
Dari
berbagai rumor yang beredar, bahwa putusan rehabilitasi misalnya merupakan
jenis putusan yang diduga rawan “dibarterkan”. Katakanlah terdakwa pengedar,
yang semestinya bisa dijatuhi putusan hukuman puluhan tahun atau hukuman mati,
digeser (direkayasan) menjadi putusan rehabilitasi.
Soal
benar tidaknya tuduhan itu, yang jelas sindikat (mafia) narkoba menjadikan
lubang-lubang birokrasi peradilan dan lemahnya aparat penegak hukum sebagai open the way
untuk melakukan dan
mengamankan jalur pengedaran narkoba.
Terbukti,
meskipun hukuman mati paling sering menimpa pelaku penyalahgunaan narkoba,
label negeri ini masih melekat, yakni jadi negeri yang semakin lama semakin nyaman bagi pebisnis
narkoba. Mereka tidak pernah jera karena para pengelola negerim yang semestinya
menjadi “pembasmi” pengedaran narkoba ini masih saja gampang dan gemar
bermain-main dengan hukum.
Karena
yang dikuasai oleh pebisnis narkoba adalah sejumlah jalur strategis di lini
penegakan hukum (law enforcement) itu,
jelas akibatnya sangat fatal bagi keberlanjutan hidup bangsa. Bukan hanya norma
yuridis, jagat peradilan, atau wilayah berlakunya hukum yang terkooptasi dan terdestruksi,
tetapi konstruksi kehidupan masyarakat juga rusak disana-sini.
Jaringan
pebisnis narkoba juga menjadi kian liberal dan akseleratif akibat dirinya merasa
diberi kondisi yang rentan bisa meliberalisasikan dan barangkali
“mengabsolutkan” diri dan kelompoknya untuk berbisnis narkoba. Jaringan
pebisnis ini misalnya sudah demikian kuat merambah anak-anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Asrorun Niam mengatakan Sholeh setidaknya dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir, jumlah pengedar narkoba anak meningkat hingga 300 persen. Kita butuh
sinergi dalam jihad besar melindungi anak Indonesia, pasalnya anak yang
menjadi pengedar itu terus meningkat.
Beberapa tahun lalu, Indonesia cuma menjadi negara
transit oleh sindikat internasional. Namun, label itu telah lama luntur dan Indonesia
berubah wajah menjadi destinasi penjualan narkoba. Indonesia bahkan mulai dikenal
sebagai sentra produksi narkoba itu. Berbagai jenis zat-zat adiktif berkembang
sangat pesat.
Kalau sudah begitu kondisinya, maka menjadikan
pengedaran narkoba sebagai musuh bersama (common
enemy) menjadi mutlak hukumnya. Produsen dan pengedar harus diperlakukan
oleh setiap elemen bangsa ini sebagai “penghancur” yang wajib dikalahkannya.
Mengalahkan para “penghancur” itu harus
dengan mengerahkan semua kekuatan strategis bangsa, mulai dari seluruh aparat
penegak hukum hingga elemen edukasi, masyarakat, dan keluarga.
Anak-anak Indonesia harus dididik
bukan sekedar paham soal hukum yang meregulasi larangan penyalahgunaan narkoba
dan ancaman hukumannya yang bersifat pemberatan, tetapi juga diperkuat
ketahanan moralnya supaya mereka lantang menyampaikan penolakan ketika mencoba
dijadikan “proyek eksperimen” kalangan pebisnis narkoba.
Anak-anak tidak cukup dikenalkan
dengan semboyan “say no to drug”,
tetapi juga harus dibentuk pikiran dan psikologisnya supaya mampu menjadikan
narkoba benar-benar sebagai common enemy
Dampak Ekonomi
Badan Narkotika
Nasional memperkirakan kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang bakal mencapai Rp 57 triliun di tahun 2013. Jumlah tersebut naik drastis
75,93 persen ketimbang angka Rp 32,4 triliun pada 2008. Sebab) Indonesia bukan lagi menjadi negara
transit peredaran narkoba, melainkan sudah menjadi negara produksi narkoba.[8]
Di tahun 2008, kerugian Rp 32,4
triliun itu terdiri dari kerugian biaya individual Rp 26,5 triliun dan biaya
sosial Rp 5,9 triliun. Dalam biaya individual itu, sebagian besar, yakni 58
persen, dipakai untuk mengongkosi konsumsi narkoba para pecandu. Sedangkan 66
persen biaya sosial digunakan untuk kerugian biaya kematian dini akibat
narkoba. Fakta yang menyedihkan, sebagian besar pecandu adalah remaja dan warga
berpendidikan tinggi, modal bangsa yang tidak ternilai. [9]
Boediono saat itu dalam
kapasitas sebagai Wakil Presiden menanggapi, bahwa hari ini kita berkumpul
bukan untuk perayaan, tapi menegaskan komitmen dan tekad melawan narkoba, kita
tidak akan beri toleransi penyalahgunaan narkoba dalam bentuk apapun di
masyarakat. Ini ancaman maha serius bagi generasi muda bangsa. Peduli masalah
narkoba berarti peduli masa depan bangsa. [10]
Lebih lanjut Boediono meminta
masyarakat jangan abai dan menolerir penggunaan maupun peredaran narkoba di
lingkungannya. Mungkin di antara kita ada yang bilang, yang penting bukan saya
atau keluarga. Hal ini keliru. Kalau Anda memberi toleransi, mungkin yang jadi
korban berikutnya adalah anak-cucu sendiri, Kita tak hidup dalam isolasi alias
tinggal dalam rumah yang steril. Jika lingkungan sakit, keluarga manapun bisa
pula terjangkit sakit yang sama. [11]
Sebagai sampel misalnya bila penyalahguna atau
pengguna narkoba di Provinsi Jambi saja sebanyak 50.420 orang, dan rata-rata
setiap bulannya menghabiskan uang sebanyak Rp.500.000. Jadi setahun saja,
bisa anda bayangkan berapa banyak uang yang sudah ia habiskan untuk
mengkonsumsi barang haram tersebut. (dengan asumsi, 50.420×500.000×12=Rp…).[12]
Berarti,
uang yang sia-sia digunakannya untuk membeli narkoba sangatlah banyak. Coba
dibayangkan, apabila untuk membangun infrastruktur atau untuk program
pengentasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan lainnya, yang telah dicanangkan
oleh pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Berapa dana yang mesti
dikeluarkan oleh pemerintah dan keluarga untuk mengobatinya, merehabilitasinya,
paska rehabilitasi, P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba), serta biaya pemakamannya, yang meninggal dunia akibat
narkoba dengan rata-rata seharinya di Indonesia sebanyak 51 orang, ditambah
lagi yang terkena atau terinfeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yakni
sebanyak 555 orang. Apalagi bila dikalikan di 33 provinsi seluruh Indonesia,
berapa banyak uang negara dan uang rakyat digunakan untuk menangani narkoba
ini, sangat membebani ekonomi negara kita, padahal aspek ini seharusnya memadai
untuk mensejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia.[13]
Kondisi ini menunjukkan kalau penyalahgunaan narkoba di Indonesia
benar-benar sudah sampai pada tahap sangat serius atau menjadi ancaman
utama terhadap bangunan kehidupan
masyarakat dan bangsa.
Pendekatan Islam
Sebenarnya kata narkotika tidak tercantum
dalam Al-quran maupun Al-Hadits, tapi narkotika ini dikaitkan dengan kata khamar karena sama-sama ada dampak
yang ditimbulkkannya yaitu sifat memabukkan. Dalam hukum Islam dikenal dengan
adanya sumber-sumber hukum Islam, dan salah satu sumber hukum Islam itu yaitu
dengan menggunakan metode qiyas atau bisa disebut juga dengan analogi hukum. Qiyas adalah menganalogikan suatu
masalah yang belum ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan .
Dari segi sifat maupun bahaya yang
ditimbulkan oleh penyalahguna narkotika sama yang bahkan lebih dahsyat dari
minuman keras atau khamar, maka ayat-ayat Al-Quran dan
Hadits-hadits Rasulullah Saw yang melarang atau mengharamkan minuman keras atau khamar dapat dijadikan dasar atau
dalil terhadap dilarang dan diharamkannya penyalahgunaan narkotika.
Dasar yuridis dapat dijumpai dalam ayat-ayat
Al-Quran yang berkenaan dengan diharamkannya penyalahgunaan narkotika sebagaimana
dalam surat Al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi: “mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: “pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. ”Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ”yang lebih dari keperluan.”Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS. Al-Baqarah:
219).
Firman Allah Swt dalam ayat lainnya “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perkerjaan
itu).”(QS. Al-Maidah: 90-91). Ayat ini menunjukkan, bahwa paska seseorang
meminum minuman keras atau jika ini narkoba dianalogikan dengannya, maka
siapapun yang mengonsumsinya akan terjerumus melakukan hal-hal lain yang sangat
buruk atau keji.
Dalam studi
keislaman, khamar digolongkn
miniman memabukkan. Khamar dalam bahasa arab berarti ”menutup” kemudian dijadikan nama bagi
segala yang memabukkan dan menutup aurat. Selanjutnya, kata khamar dipahami sebagai minuman yang
membuat peminumnya mabuk atau ganguan kesadaran. Pada zaman klasik, cara
mengonsumsi benda yan memabukkan diolah oleh manusia dalam bentuk minuman
sehingga para pelakunya disebut peminum. Pada era modern, benda yang memebukkan
dapat dikemas menjadi aneka ragam kemasan berupa benda padat, cair, dan gas
yang dikemas menjadi bentuk makanan, minuman, tablet, kapsul, atau serbuk,
sesuai dengan kepentingan dan kondisi si pemakai.[14]
Ada sebuah hadits yang menetapkan keharaman khamar berdasarkan
hadits Rasulullah saw yang berbunyi : “Dari
Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda setiap yang memabukkan adalah arak
dan setiap yang memabukkan adalah haram. (Riwayat Muslim)”
Para ahli-ahli fiqih (fuqaha) ada yang memberi pengertian khamar, yaitu cairan yang memebukkan, yang terbuat dari buah-buahan
seperti anggur, kurma yang berasal dari biji-bijian seperti gandum dan yang
berasal dari manisan seperti madu, atau hasil atas sesuatu yang mentah, baik
diberi nama klasik atau nama modern yang beredar di dalam masyarakat.[15]
Zat yang digolongkan sejenis minuman
memabukkan adalah narkoba. Narkoba adalah kepanjangan dari narkotika,
psikotropika, dan obat berbahaya. Zat ini digolongkan sejenis minuman khamar, termasuk juga zat yang
memabukkan dan haram status hukumnya dikonsumsi oleh manusia. Hal ini
dikemukakan oleh Al-Ahmady Abu An-Nuur. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa
narkoba/narkotika melemahkan, membius, dan merusak akal serta anggota tubuh
manusia lainnya[16]. Dasar hukum pengharaman narkotika adalah
hadits Rasulullah saw. yang berbunyi :
“Rasulullah Saw. melarang setiap perkara yang
memabukkan dan dapat melemahkan badan”
Selain
dari hadits di atas ada beberapa hadits lainnya yang mengharamkan narkotika,
minuman keras atau khamar yaitu sebagai berikut [17]
1) Sesungguhnya
Rasullullah saw. bersabda: “sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka walaupun
sedikit pun adalah haram” (H.R. Ahmad dan Imam Empat).
2) Sesungguhnya Nabi saw.
bersabda: “setiap yang memabukkan haram” (H.R. Muslim).
3) Nabi saw. bersabda: “setiap
minuman yang memabukkan adalah haram” (H.R. Bukhari).
4) Allah melaknat (mengutuk)
mengenai khamar, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras
bahannya, pemakan atau penyimpannya, pembawa dan penerimanya.(H.R. Abu Daud,
Ibnu Majah dan Ibnu Umar).
5) Malaikat
Jibril datang kepadaku lalu berkata : Hai Muhammad, Allah melaknat minuman
keras, pemerasnya,orang-orang yang membantu pemerasnya, penerima/penyimpannya,
penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, orang-orang yang mau disuguhinya. (H.R.
Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abas).
Dalam kisah lain disebutkan,
bahwa ada sebuah pendapat lagi yaitu pendapat Ibnu Abi Syaibah. Dia
meriwayatkan dari Abi Abdul Rahman As Salimiy dari Ali radhiyallahu
‘anhu, yang berkata: “sekelompok
penduduk Syam telah minum khamr. Kemudan mereka memutarbalikkan ayat-ayat Al-Quran.
Lalu Umar bermusyawarah dengan para sahabat. Umar berkata, “Aku perintahkan
mereka untuk bertobat, jika mereka tidak bertobat, maka di-jilid 80
kali, jika tidak mau bertobat penggallah lehernya, karena hal itu telah
mengubah apa yang diharamkan Allah.” Kemudian penduduk Syam bertobat. Akhirnya
mereka di-jilid 80
kali.[18]
Berdasarkan sumber hukum
tersebut, dapat dipahami, bahwa Islam menempatkan penyalahgunaan narkoba
sebagai pelaku kejahatan, yang bukan hanya berhubungan dengan dirinya saja,
tetapi juga pihak-pihak lain. Karena akibatnya yang sangat kompleks terhadap
kehidupan di skala mikro maupun makro, maka logis jika pelakunya, apalagi
produsen dan pengedarnya mendapatkan hukuman berat.
Kerugian secara ekonomi dapat
ditempatkan sebagai bentuk pemborosan atau penghancuran sumberdaya masyarakat
dan bangsa. Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari anggota masyarakat dari kalangan miskin, akhirnya terdistribusi dan
bahkan habis di jalan yang sesat dan jahat.
KESIMPULAN
Narkoba merupakan salah satu zat yang
mempunyai kekuatan destruksi yang luar biasa. Zat ini telah menjadi pembunuh hebat
di tengah masyarakat. Produksi maupun pengedaran narkoba telah mengakibatkan
kerugian ekonomi tidak sedikit dan benar-benar sudah terbukti menghancurkan
anak bangsa. Indonesia telah dijadikan pasar khusus oleh produsen dan pengedar.
Meskipun dari segi dampaknya demikian mengerikan,
akan tetapi para produsen dan pengedarnya tetap dan terus saja melanjutkan
aktifitasnya dengan mencari konsumen-konsumen baru yang bisa dijadikan sebagai
penguat bisnisnya. Sejumah pasar baru juga dibuka untuk mengedarkan narkoba.
Dalam kajian Islam, bilamana penggunanya saja bisa dijatuhi hukuman berat, maka
tentu saja produsen dan pengedarnya pun harus dihukum lebih berat lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Asadulloh Al
faruq, 2009, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia
Indonesia.
Ed. Kurniawan,
Budi Setiawan, Noldy Ratta, Ketut Wirya, I Ketut Lancar, dan Imanuel E.
Raitung, 2010. Narkotika dalam Pandangan Islam, Jakarta: BNN (Badan
Narkotika Nasional).
Haryanto Soedjatmiko,.. 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada:
Ketika Konsumsi dan Design Menjadi Gaya
Hidup Konsumerisme. Yogyakarta: Jalasutra.
Mudji Sutrisno,& Hendar
Putranto, 2005, Teori–Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Sarlito W Sarwono. 2003, Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Syafik A. Hasan, 2011, Hedonisme:
Berhala Abad 21, Jakarta: Sinar Imu, 2011.
Zainuddin Ali, 2009, Hukum
Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Makalah
Ali Badruddin, Tugas
Bersama Menyelamatkan Generasi Muda dari Pesona Narkoba, Makalah, 12 Maret
2015.
Internet
https://m.tempo.co/read/news/2010/06/26/063258746/kerugian-ekonomi-akibat-narkoba-rp-57-triliun,
akses 1 Maret 2016
https://berita21.wordpress.com/2012/01/15/dampak-penyalahgunaan-narkoba-terhadap-ipoleksosbud-hankam-dan-agama/,akses
12 Maret 2016.
http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2015/10/makalah-tentang-narkoba-menurut-hukum.html,
akses 13 Maret 2016.
Putu Ari Purwanti, Gaya Hidup Hedonisme Di Kalangan Remaja
Putri, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=365883&val=937&title=GAYA%20HIDUP%20HEDONISME%20DI%20KALANGAN%20REMAJA%20PUTRI%20(Studi%20Kasus%20Komunitas%20Warung%20Bumi%20Ayu,%20Jalan%20Gunung%20Agung,%20Kota%20Denpasar),
akses 11 Maret 2015.
[1]Ali Badruddin, Tugas Bersama Menyelamatkan Generasi Muda
dari Pesona Narkoba, Makalah, 12 Maret 2015, hal. 3.
[2] Syafik A. Hasan, Hedonisme: Berhala
Abad 21, (Jakarta: Sinar Imu, 2011), hal. 21.
[3] Mudji Sutrisno,& Hendar Putranto, Teori–Teori Kebudayaan. (Yogyakarta:
Kanisius, 2005). hal, 81.
[4] Sarwono, Sarlito W. Psikologi
Remaja. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 11-14.
[5] Haryanto Soedjatmiko,.. Saya
Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Design Menjadi Gaya Hidup
Konsumerisme. (Yogyakarta: Jalasutra,
2008), hal. 9.
[6] Putu Ari Purwanti, Gaya Hidup Hedonisme Di Kalangan Remaja Putri, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=365883&val=937&title=GAYA%20HIDUP%20HEDONISME%20DI%20KALANGAN%20REMAJA%20PUTRI%20(Studi%20Kasus%20Komunitas%20Warung%20Bumi%20Ayu,%20Jalan%20Gunung%20Agung,%20Kota%20Denpasar),
akses 11 Maret 2015.
[7] Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[13]Ibid.
[14] http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2015/10/makalah-tentang-narkoba-menurut-hukum.html,
akses 13 Maret 2016.
[15] H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hal 78-79.
[16] Ibid, hal.
79-80
[17]Ed. Kurniawan, Budi Setiawan,
Noldy Ratta, Ketut Wirya, I Ketut Lancar, dan Imanuel E. Raitung,Narkotika dalam Pandangan Islam, (Jakarta: BNN (Badan
Narkotika Nasional), 2010), hal 17-19.
[18]Asadulloh Al faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum
Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 58
Komentar