Bersyukur itu Kaya itu Jare Mak
Tidak ada Kesuksesan tanpa di Dasari Bersyukur
“Pandai-pandailah bersyukur kepada Allah”, begitu
nasihat kyai sepuh itu kepada para jamaah untuk memulai ceramah pada acara
kuliah Minggu pagi di sebuah masjid dekat tempat tinggal saya. Pak Kyai itu
melanjutkan dengan kalimat “Jika kita pandai bersyukur, maka Allah akan
menambah nikmat yang kita terima. Tetapi jika kita ingkar atau kufur, maka
nikmat itu tidak saja dikurangi, tetapi siksa Allah sangat pedih”. “Bertebaran
ayat dalam al Qur’an dan hadits yang memerintahkan kita untuk menjadi hamba
Allah yang pandai bersyukur”, kata pak kyai itu tegas. Sambil mendengarkan
ceramah, saya merenungkan arti kata ‘syukur’ yang sebenarnya. Kata ‘syukur’
hanya terdiri atas enam huruf. Jadi sangat sederhana. Tetapi untuk
mewujudkannya tidak sesederhana mengucapkannya. Ia melibatkan sikap dan
hubungan dengan Allah serta rasa pasrah diri kepada-Nya. Karena itu, apa
hakikatnya bersyukur? Tulisan pendek ini mencoba mengulasnya secara sederhana.
Bersyukur berasal dari kata dasar ‘syukur’ dan
mendapatkan awalan ‘ber’, sehingga berstatus sebagai kata kerja. Kata ‘syukur’
berasal dari bahasa Arab ‘syakara’ yang artinya membuka. Jika diartikan bebas,
maka bersyukur ialah diartikan sebagai kesediaan sikap untuk membuka mata hati
dan mengakui semua nikmat dan karunia yang diberikan Allah. Tanpa kesediaan
membuka mata hati, maka orang tidak mau mengakui pemberian Allah. Sebaliknya,
yang terjadi justru protes dan merasa selalu tidak puas atas pemberian Allah.
Padahal, bisa saja Allah mengira pemberian yang dilimpahkan itu telah melampaui
yang seharusnya, karena yang bersangkutan tidak dekat dengan Allah.
Kita mungkin sering menjumpai orang yang selalu
mengeluh karena keterbatasannya. Dia tidak mau melihat kelebihan atau berbagai
nikmat yang ia peroleh. Dia selalu membandingkannya dengan orang lain yang
menurutnya memiliki banyak kelebihan: pangkat, rezeki, kedudukan, status
sosial, dan sebagainya, sehingga ia protes kepada Allah. Allah pun dianggap
tidak adil. Sebab, mengapa dirinya berbeda dengan orang lain yang lebih banyak
diberi nikmat. Padahal, jika saja mau menengok ke bawah sedikit saja ia akan
melihat bahwa ia sesungguhnya telah memperoleh nikmat yang tak terhitung
jumlahnya. Mulai nikmat berupa hidup, harta, kesehatan, keselamatan,
penglihatan, pendengaran, akal, ilmu, tempat tinggal dan seterusnya. Dari
mana datangnya semua itu? Apa semua itu datang sendirian? Tentu tidak ! Semua
adalah karunia dan pemberian Allah.
Nikmat berupa hidup membuat seseorang menikmati
dunia seisinya. Nikmat berupa harta menjadikan seseorang mudah beramal dengan
membantu dan menyantuni kaum papa. Nikmat berupa kesehatan membuat orang
bisa melakukan aktivitas apa saja yang dikehendaki tanpa ada hambatan. Nikmat
penglihatan membuat orang melihat indahnya jagad raya dan alam semesta. Nikmat
berupa pendengaran menjadikannya mampu mendengarkan informasi. Nikmat berupa
akal membuatnya mampu membedakan hal-hal yang baik dan buruk, yang benar dan
yang salah. Nikmat berupa ilmu pengetahuan menjadikan seseorang lebih
bermartabat dan dihargai orang. Nikmat berupa tempat tinggal untuk membangun
institusi rumah tangga sehingga keluarga menjadi tenang dan sejahtera.
Bentuk-bentuk syukur semacam ini menjadikan hidup tidak selalu merasa
kekurangan. Sebaliknya, hidup akan lebih produktif dan lebih bermakna.
Bagaimana cara bersyukur? Bentuk syukur paling
sederhana ialah mengucapkannya melalui bibir. Selanjutnya ucapan ‘syukur’ itu
diwujudkan dalam tindakan. Misalnya, karena memiliki nikmat berupa kesehatan
yang prima, maka kesehatan itu dipakai untuk bekerja keras, mencari ilmu,
menjalankan aktivitas-aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah, dan beramal
sholeh. Jika memiliki nikmat berupa ilmu yang lebih, ilmu itu disebarluaskan
dan diajarkan kepada orang yang belum bisa. Sebab, ilmu yang diajarkan kepada
orang lain selain bermanfaat, ia tidak akan pernah habis dibagi. Ilmu justru
berkembang dengan disebarluaskan kepada orang lain. Karena itu, tidak ada
ceritanya ilmuwan kehabisan ilmu karena dibagi-bagi dengan diajarkannya kepada
orang lain.
Begitu juga jika seseorang memiliki nikmat berupa
kedudukan atau jabatan publik, maka syukur atas nikmat itu diwujudkan dengan
perilaku mengayomi atau melindungi para anak buahnya dan bersikap adil kepada
mereka serta menyejahterakannya. Dengan demikian, mensyukuri nikmat berupa
jabatan artinya tidak menyia-nyiakan waktu selama memiliki jabatan itu dengan
aktivitas hura-hura yang tidak ada manfaatnya baik bagi dirinya maupun bagi
orang lain.
Kesadaran semacam itu menjadikan hidup dilalui
dengan penuh makna. Hidup bukan untuk hidup. Hidup merupakan kesempatan untuk
beramal sholeh dan berkarya sebagai makhluk hamba Allah. Hidup penuh makna
artinya tidak terlalu bergembira dan berpesta pora tatkala memperoleh
keberhasilan atau kesuksesan dan sebaliknya tidak larut dalam kesedihan yang
mendalam jika tertimpa musibah. Hidup harus didasari kepercayaan bahwa
semuanya, baik yang menyenangkan atau menyusahkan, yang menguntungkan atau yang
merugikan, dan sebagainya datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
Sebagaimana janji Allah, karena bersyukur nikmat
akan bertambah. Tentu ini tidak tiba-tiba bertambah. Harus ada upaya dan
ikhtiar dari manusia itu sendiri lewat kerja keras dengan selalu perpikir
positif terhadap semua ketentuan dan pemberian Allah. Dengan berpikiran
positif, maka semua akan tampak keindahannya. Sebaliknya, jika berpikiran
negatif, maka semuanya akan tampak keburukannya. Yang baik pun akan tampak
jelek. Karena itu hidup hakikatnya adalah bagaimana memaknai semua yang
terjadi. Dengan demikian, jika kita selalu berpikiran positif terhadap apa saja
yang ada di sekitar kita maka hidup menjadi sangat indah. Sebaliknya, jika
selalu berpikiran negatif, hidup akan sangat susah. Tidak sedikit orang
akhirnya mengakhiri hidupnya dengan sia-sia karena gagal memaknai hidup dengan
indah.
Komentar