Implementasi TAP MPR No IX Tahun 2001 Dalam Sistem Perundangan
Kedudukan
TAP MPR Dalam Sistem Perundangan
Sebelum
kita berbicara tentang TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber
Daya Alam, ada baiknya kita mereview kembali ingatan kita tentang hirarkhi (susunan) peraturan perundangan. Sejak dikeluarkannya UU No 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan, dalam pasal 7 menyebutkan TAP MPR tidak lagi dijadikan sebagai
referensi hukum, dengan kata lain TAP MPR dikeluarkan dari khirarkhi (susunan
urutan) peraturan perundangan. Dari tahun 2004 hingga tahun 2011 selama 7
(tujuh) tahun TAP MPR tidak lagi dikenal dalam sistem tata negara indonesia. Dikeluarkannya
atau tidak dimasukkannya TAP MPR sebagai
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak banyak
diperdebatkan, meskipun sangat esensial bagi tertib dan kehidupan hukum di
Indonesia.
Kekeliruan
mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan
sejak diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari oleh pembentuk UU (Pemerintah dan DPR). Hal ini ditandai
dengan di undangkannya UU No 12 Tahun 2011 pada tanggal 12 Agustus 2011
lalu yang memaksukannya kembali TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan. Dalam hubungan ini UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan tata
urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1.
UUD 1945
2.
Ketetapan MPR
3.
UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Peraturan Presiden
6.
Peraturan daerah Propinsi
7.
Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.
Dalam
UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya (urutannya). Artinya ketentuan ini
memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang
kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya
kedudukan Peraturan Daerah yang tadinya dalam Tap MPR No III/MPR/2000 hanya
disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa membedakannya Perda Propinsi dengan
Perda Kabupaten/Kota. Dengan dipecahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan
dibawahnya Perda kabupaten Kota, maka tentu keberadaan Perda
Kabupaten/Kota saat ini lebih rendah kedudukannya dari Perda Propinsi dan
sekaligus mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan
Perda Propinsi. Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas
dalam kesempatan lain.
Pentingnya
Pengarusutamaan Kembali Keberadaan TAP MPR No IX Tahun 2001 Tentang Pembaharuan
Agrarian Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sebagai
ilustrasi untuk menggambarkan ruwetnya pengelolaan sumber daya agraria yang
lahir dari kerancuan peraturan perundangan, Saya coba berkaca pada peristiwa
terbaru yang masih hangat di ingatan terkait kerusuhan Lambu-Sape di Bima.
Bukan hendak menjustifikasi siapa benar dan siapa salah terkait kasus tersebut,
namun hanya hendak menggambarkan bahwa peraturan perundangan kita tentang
pengelolaan sumber daya agraria adalah belantara peraturan yang justeru ikut
menjadi pemicu lahirnya konflik pertambangan di berbagai daerah di Indonesia.
Kerusuhan Lambu yang telah meluluh lantahkan sendi sendi kehidupan social
masyarakat Bima dan yang membuat Negara mati suri tak berwibawa itu adalah
akibat konkrit dari kebingungan daerah maupun kepala daerah dalam
mengimplementasikan berbagai peraturan yang satu sama lainnya saling tumpang
tindih.
Kita
ambil contoh kerancuan peraturan yang membuat para pejabat kita bersi kukuh
pada sikapnya masing masing dari pusat hingga daerah ketika terjadi penolakan
besar besaran dari masyarakat atas SK Bupati Bima No 188 yang menewaskan 3
penduduk. Wakil Menteri Kementerian ESDM saat itu mengatakan tidak
mau mencabut IUP Eksplorasi PT SMN. Dirjen ESDM berkata: “Tugas
Kementerian ESDM hanya pembinaan dan pengawasan saja”, Menteri Ekonomi
berkata, “Kepala daerah ini lucu, ketika memberikan izin tidak kordinasi,
giliran rusuh minta perlindungan pusat”. Gubernurnya berkata “Meminta
Bupati untuk mencabut IUP”, dan Bupati nya berkata “sepanjang dibenarkan
oleh konstitusi, gak usah 1 SK, 1000 SK bila perlu saya cabut”.
Semua pejabat dari pusat hingga daerah berpedoman pada
pemahaman masing masing tentang peraturan perundangan yang tentu sama sama
benar di satu sisi, hingga perdebatan relasi kuasa tersbut berakhir dengan terbakarnya Kantor Bupati Bima.
Lagi lagi silang sengkarut relasi kuasa akibat peraturan telah memupuk suburnya
tradisi anarkhisme di tengah kehidupan masyarakat.
Terkait berbagai tumpang tindih
tersebut di ataslah, maka penting TAP MPR tentang pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam kembali dijadikan sebagai panduan untuk merumuskan
dan kembali mensingkronisasikan berbagai peraturan perundangan yang mengatur
tentang pengelolaan agraria kita.
Sebagaimana kita pahami dalam
UUPA No 5 tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, bahwa yang disebut dengan
agraria adalah segala sesuatu yang berbada di permukaan tanah, bawah tanah dan
ruang angkasa. Mekanisme peraturan yang mengatur tentang objek agraria tersebut
telah melahirkan berbagai tumpang tindih peraturan dan juga subjek pelaksana
nya. Semisal UU Pertamnbangan yang bertentangan dengan UU Lingkungan hidup, UU
kehutanan, UU perkebunan, UU Penanaman Modal Asing dan lainnya. Dalam kapasitas
saya sebagai anggota Komisi II DPR RI yang bermitra dengan BPN, Joyo Winoto
kepala BPN menyampaikan saat ini terdapat 516 peraturan perundangan yang
tumpang tindih. 516 peraturan yang tumpang tindih tersebut hanya yang
berhubungan dengan internal BPN, jumlah itu tentu akan bertambah jika di
hubungkan dengan tumpang tindih nya peraturan di BPN dengan UU sektoral lainnya
seperti di kehutanan, perkebunan, pertanian, pertambangan, lingkungan hidup dan
lainnya.
Di sinilah peran TAP MPR No IX
tahun 2001 tadi, sebagai kerangka yang tak selesai dilakukan oleh pemerintah
dan menjadi PR bagi kita semua untuk melaksanakan amanat yang terkandung dalam
TAP MPR tersebut. Inti dari TAP MPR No IX tahun 2001 tersebut sebenarnya adalah
amanat untuk melakukan singkronisasi terhadap peraturan perundangan yang
berhubungan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam agar sepenuhnya
dikelola demi kemakmuran rakyat. Dalam TAP MPR No IX Tahun 2011 pasal 6
menyebutkan arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan
memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah
perkotaan.
c.
Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan
sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
d.
Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
e.
Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang
terjadi.
Sedangkan arah pengelolaan
sumber daya alam di jelaskan pada pasal berikutnya yaitu:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prSinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya
alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya
alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya
tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk
teknologi tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk
sumberdaya alam tersebut.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
f.
Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun
nasional. (Oleh: Poetra Adi Soerjo - Pengamat Politik Lokal Dan Otonomi daerah).
Komentar