Cerita Pengemis “Ala Dinas”


Pagi itu di awal minggu kedua bulan Februari saya punya pengalaman unik. Ya, bagi saya cukup unik lantaran baru kali ini saya menemukan pengemis yang menolak diberi makanan. Ketika itu saya tengah membeli sebungkus nasi kuning di warung pinggir jalan di Sempaja.
Saat saya menunggu si “ibu warung” membungkuskan pesanan saya, tiba-tiba datang pengemis menadahkan tangannya. Maksudnya jelas, tentu dia minta uang. Jika saat itu saya beri dia uang Rp. 1000,- (seribu rupiah) saya, saya yakin ia akan segera ngeloyor meninggalkan saya dan beralih kepada orang lain.
Bukannya saya tak punya belas kasihan dan tak mau memberi uang kecil, tapi memang saya sudah tak punya uang kecil karena uang receh saya yang Rp. 8.000, – telah saya serahkan kepada si Ibu penjual Nasi Kuning. Ada di kantong tinggal selembar Rp. 50 ribuan. Makanya, kemudian saya berpikir untuk membelikan makanan untuk si pengemis yang tampak loyo ini (Waktu itu saya pikir dia loyo karena belum makan. Maklum hari masih cukup pagi dan saya sendiri juga lagi kelaparan karena di rumah belum sempat sarapan).
“Wah, saya sudah tidak punya uang kecil lagi, bu. Bagaimana kalau saya belikan makanan saja?”
Tapi apa yang terjadi dengan si pengemis ini? Apa kemudian dia dengan gembira menerima tawaran saya? Bukankah harga nasi kuning Rp. 8.000,- jauh lebih mahal dari pada recehan Rp. 500,- atau Rp. 1.000,-? Ternyata tidak!!! Masih dengan gaya memelasnya si pengemis ini menggeleng menunjukkan bahwa dia tidak mau menerima tawaran makanan dari saya.
Aneh kan? Ternyata si pengemis ini benar-benar “profesional” sekali. Kalau tidak sesuai dengan kebiasaannya (diberi uang) dia tak bersedia menerimanya. Ah, masak sih? ya… saya juga nggak yakin.
Saya kemudian teringat dengan kisah seorang penjual sate beberapa bulan yang lalu. Saat itu saya tengah makan malam di sebuah rombong sate di depan sebuah kantor penerbitan tempat saya bekerja malam. Seorang pengemis cacat juga tengah meminta-minta di warung sate tempat saya makan. Oleh pemilik rombong (warung) pengemis ini diberi uang receh dan segera pergi dengan wajah berseri-seri.
Si pemilik warung sate kemudian bercerita kepada saya bahwa para pengemis tersebut pernah ditawari makan di warungnya ini, tapi mereka enggan dan meminta agar makanan itu dibungkus saja untuk kemudian diselipkan dengan diam-diam ke dalam tas yang mereka sandang.
“Lho… Kok begitu pak?” Tanya saya dengan heran waktu itu.
Maka sang pemilik warung satepun menjelaskan bahwa para pengemis itu beroperasi dalam sebuah jaringan mafia yang sukup rapi. Pernah, ujar dia, seorang pengemis yang ketahuan makan saat “jam dinas”  kemudian harus mendapatkan penyiksaan oleh preman yang mengkoordinir mereka.
Ini adalah realita yang terjadi di hadapan hidung kita, bahkan di hadapan hidung aparat pemerintah kita. Ini sudah bukan rahasia lagi. Pengeksploitasian kaum dhuafa untuk kepentingan kelompok penjahat begitu mudahnya beroperasi di tengah hiruk pikuknya kota kita.
Apa yang harus kita lakukan? Inilah pertanyaan yang sewajarnya bercokol di kepala kita, lebih-lebih para pemegang kebijakan di daerah kita. Harus ada langkah nyata yang berkesinambungan. Tidak hanya dengan basa-basi penangkapan dan pemulangan ke daerah asal lalu selesai. Sementara dari luar daerah masih banyak generasi pengemis lainnya lagi yang sudah siap antri menggantikan mereka yang kena rajia dan diplangkan ke kampung halaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERTANYAAN PERTAMA PADA SUAMI DAN ISTRI (lanjutan kitab uqudulujain)