POLIGAMI YANG BERLAKU DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Umat Islam mayoritas dan masih eksis di Indonesia, karena itu tetap menjadi  sebuah peluang besar bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam dan berhukum dengan hukum Islam. Namun idealisme serta harapan ini bukanlah hal yang mudah seperti kita membalikkan tangan, tapi butuh perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka merealisasikannya. Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur, walaupun sampai saat ini hukum yang masih berlaku di Indonesia adalah hukum konvensional alias bukan hukum Islam, namun ada beberapa aspek-aspek kehidupan yang masih menerapkan hukum Islam. Di antaranya hal-hal yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah pembagian harta waris, sebagaimana yang banyak kita kenal dengan istilah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, KHI ini banyak digunakan sebagai acuan ataupun dalil bagi Pengadilan Agama.Undang-undang poligami sendiri terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada UU Perkawinan.

            Pernikahan/Perkawinan sendiri adalah upacara yang sakral yang mengikat antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa yang ingin membangun sebuah keturunan dan sifatnya kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dalam Islam bisa disebut dengan Ijab Qobul (akad nikah), pernikahan seperti ini dinamakan dengan sistem pernikahan monogami. Adapun sistem pernikahan lain yang dimana laki-laki dewasa dapat memiliki dua perempuan dewasa atau lebih perempuan dewasa untuk dijadikan istri/istri-istrinya dalam waktu bersamaan, sistem pernikahan ini bernama sistem pernikahan poligami. Dalam Islam hukum poligami diperbolehkan (mubah, tidak dilarang namun tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang laki-laki dewasa beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. “…dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Al-Qur’an, Surat an-Nisa ayat 3 4:3).

Indonesia sendiri memiliki undang-undang tentang poligami yang terletak pada pasal 3(2) UU no. 1-1974 yang menyatakan bahwa ‘pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan’. Dengan syarat seperti yang tercantum pada pasal 4 (1-2) UU no. 1-1974; pasal 41 PP no. 9-1975) yang berbunyi sebagai berikut:

Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembunyikan,Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[1]

Jika seorang suami memiliki istri yang masih hidup dan istrinya termasuk pada yang tertulis di atas maka sang suami dapat beristri lebih dari seorang perempuan dewasa dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan (perhatikan pasal 4(1) UU no. 1-1974 dan pasal 40 PP no. 9-1975). Namun pasal tersebut belum cukup untuk dapat diterima pengadilan, karena masih akan memeriksa sebagai berikut:

Ada atau tidaknya persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu adalah persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan surat-surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau surat keterangan pajak penghasilan; atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.[2]

Dengan kelengkapan semua itulah, baru sang suami yang ingin memperistri lebih dari satu orang perempuan dewasa dapat melakukan praktek poligami. Sebagaimana yang telah disunahkan oleh Agama islam dan dibolehkan oleh undang-undang yang ada di Indonesia.

Rumusan masalah

Sebagaimana yang telah dijelaskan sekilas tentang sistem pernikahan poligami dan tatacara hukum yang mengatur poligami di atas, penulis akan mencoba untuk merumuskan masalah sistem hukum pernikahan poligami didalam lingkungan masyarakat. Berikut rumusan masalah tersebut;

Kenapa setelah berpoligami sering sekali terjadi konflik dalam keluarga tersebut?Apa manfaat hukum poligami dibuat jika hanya mengakibatkan konflik?Tujuan pembahasan

Diharapkan pembaca dapat mengetahui penyebab sering terjadinya konflik dalam pasangan/keluarga yang melakukan poligami dengan contoh peristiwa konkrit yang terjadi di Indonesia soal praktek poligami, sejauh mana hukum poligami berfungsi dan pendapat ahli tentang fungsi agama sehingga bisa membentuk poligami di Indonesia.

PEMBAHASAN

Konflik dalam poligami

Konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan. Konflik tidak selalu diartikan negatif, “namun konflik dapat juga menjadi penguat integrasi sebuah kelompok dengan masyarakat”.[3] Poligami, sebuah kata yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari masyarakat kita, jika mendengar kata tersebut beranggapan sebagai sebuah hal yang negatif bahkan mengerikan di telinga perempuan yang kontra terhadap poligami. Seperti kasus Ana Abdul Hamid seorang wanita yang bikin video poligami yang beritanya kini sedang hangat dibicarakan karena tulisan pada video tersebut menunjukan kalau sang pembuat video ingin bunuh diri.[4] Namun kasus itu dilandasi dengan perselingkuhan suaminya. Jika perempuan awam yang menonton video tersebut mungkin perempuan itu akan cepat terpengaruh dan beranggapan kalau poligami itu menyeramkan. Di luar itu semua adapun perempuan yang pro terhadap poligami dengan tujuan ingin melaksanakan anjuran yang terdapat dalam Al-Qur’an yang telah dibahas pada bab pendahuluan di atas, tentunya dengan syarat suami itu mampu untuk menghidupi istri-istrinya beserta anak-anaknya dan dapat berlaku adil. Realitanya dalam poligami tidak banyak keluarga yang berhasil melakukan poligaminya dengan harmonis, kebanyakan dari mereka berujung kepada konflik dalam keluarga seperti, adanya kecemburuan antar sesama istri sehingga menimbulkan pertikaian demi untuk mendapatkan perhatian suami hingga mengakibatkan perceraian.[5]

Jika kita telaah pada kasus keluarga yang gagal (dikatakan gagal karena ada yang melakukan poligami dengan berhasil dalam artian pelaku dapat meredam konflik yang timbul) dalam berpoligami, sesungguhnya mereka (para suami) tidak sungguh-sungguh dalam niatnya untuk berpoligami. “Di masa sekarang mereka (para suami) lebih terdorong oleh setidaknya ada empat motivasi; Pertama, untuk mewadahi keserakahan seksual; Kedua, mereka (para suami) ingin tetap dianggap menarik secara seksual oleh orang-orang disekitarnya; ketiga, untuk mencari kesenangan lain karena sudah bosan dalam hubungan suami-istri yang sebelumnya; keempat, suami ingin membuktikan bahwa dirinya masih kuat dan menarik. Empat hal itulah yang kini menjadi modus bagi para suami untuk melakukan poligami.”[6]

Dulu praktek poligami dilakukan untuk melaksanakan anjuran Agama, sebagaimana yang diajarakan oleh Nabi Muhammad SAW yang menyunahkan berpoligami dengan semata karena ridha Allah SWT. Kala itu ketika Islam berperang tidak sedikit tentara Islam yang gugur dalam medan pertempuran, sehingga berdampak tidak sedikit pula istri sahabat Nabi yang menjadi janda dengan memikul beban berat karena harus menghidupi anak-anak mereka dan banyak tentara musuh yang mengincar tawanan perempuan Islam untuk dijadikan budak hawa nafsu mereka.[7] Kenyataan pahit ini mendorong Nabi Muhammad SAW untuk membuka pintu poligami kepada para sahabat Nabi yang dinilai mampu untuk menikahi janda-janda korban perang sampai empat. Syaratnya, para sahabat itu harus berlaku adil, baik terhadap istri-istrinya, maupun anak-anak yatim yang dalam perawatannya. Itulah syarat-syarat yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dan diabadikan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat : (3).[8]

Besarnya hawa nafsu kaum laki-laki dalam konteks seksual menjadi penyebab rasa ingin berpoligami itu muncul. Contoh ketika zaman Nabi ada sahabat bernama Ghailan As-Tsaqafi yang memiliki istri 10 orang istri dan Nabi pun menegurnya dalam sebuah Hadist: “Pertahankanlah istrimu empat saja, dan ceraikan istri-istrimu yang lainnya”.[9]Hadits ini memiliki makna yang sama dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan At-Turmudzi dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Memeluk agama Islam Ghailan As-Tsaqafi dan beliau memiliki sepuluh orang wanita pada masa Jahiliyah, mereka istri-istrinya semuanya memeluk islam, maka Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada beliau untuk memilih diantara semua Istrinya hanya empat saja”.[10] Ini menunjukan betapa besarnya nafsu kaum laki-laki terhadap seksual pada zaman itu. Namun kala itu masih ada Nabi Muhammad SAW selaku pengingat  jikalau ada diantara kaumnya salah dalam mengikuti sunah Nya, maka Nabi yang akan menegurnya.

Seiring berjalannya waktu poligami di Indonesia diubah maknanya oleh kaum laki-laki yang bertujuan sebagai ajang untuk mempunyai lebih dari satu istri. Maka dari itu dirumuskanlah ayat-ayat poligami ke dalam bentuk kompilasi dan UU untuk dipedomani seluruh muslim di Indonesia pada masa Orde baru tujuannya untuk memperketat kaum laki-laki agar tidak mudah melakukan poligami. Peristiwa konkrit poligami yang menjadi sorotan publik yang bisa dikatakan berhasil dalam meredam konflik dalam berpoligami. Yaitu peristiwa seorang ulama besar Indonesia bernama KH. Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal dengan Aa Gym, peristiwa ini terjadi tahun 2006 dan menyita banyak sorotan dari publik.

Awalnya Teh Ninih (istri pertama Aa Gym) merasa takut ketika Aa mengatakan ingin melaksanakan sunah Rosul yang dimaksud dengan poligami. Namun karna kewajiban istri adalah menaati suami dan selama semua keinginan suami masih sesuai dalam  syariat Islam, tentunya Teh Ninih tidak bisa membantah keinginan Aa. Sebagai istri yang ingin shalehan, Teh Ninih harus ikhlas menerima kenyataan ini. Sebelumnya Teh Ninih pernah bertanya kepada Aa tentang kekhawatirannya, bagaimana jika dia dicaci maki dan ditinggalkan oleh kaum wanita gara-gara berpoligami.[11] Itulah kegelisahan yang dikhawatirkan Teh Ninih. Niat Aa untuk berpoligami begitu kuat, karena Aa yakin dengan berpoligami Beliau bisa menjalankan sunah Nabi dan mengajarkan semua Umat Muslim yang ada di Indonesia bawasanya tidak selamanya poligami itu menakutkan dan mengundang caci maki dari sana-sini. Karena bagi Aa caci maki manusia tuh adalah ujiannya dalam melaksanakan hukum Islam yang bernama poligami ini. Tidak lama setelah berpoligami, mulai terjadi boikot lewat SMS oleh publik yang berisi kutipan dakwah Aa Gym yang tidak menganjurkan poligami, saat sang pendakwah melakukan sebaliknya.[12]Bukan hanya cercaan dari luar, adapun konflik dari dalam yang terjadi pada kebanyakan kasus poligami lain seperti mulai munculnya kecemburuan antar istri. Seiring berjalannya waktu, Aa dengan kekukuhannya dalam menghadapi cercaan dan konflik akhirnya mendapatkan titik temu yang harmonis.

Konflik kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat termasuk pada peristiwa praktek poligami yang kerap menimbulkan konflik pada internal sebuah keluarga, yang penyelesaian akhirnya dengan perceraian. Seorang ahli Lewis A. Coser berkata “konflik tidak selamanya menimbulkan masalah, kerugian atau hal negatif lainnya, melainkan dapat menjadi sebuah fungsi untuk menguatkan solidaritas dan integrasi antar kelompok atau individu”.[13] Itulah mengapa hubungan keluarga poligami Aa tidak retak, malah semakin harmonis dan kuat. Karena Aa gym memandang konflik tidak sebagai suatu hal negatif melainkan sebagai ujian untuk membangun keluarga yang harmonis.[14] Kebanyakan dari keluarga yang berpoligami jika di mana mereka sedang berada dalam sebuah ketegangan hubungan keluarga, tidak malah memandang ketegangan tersebut sebagai ujian untuk memperkokoh internal mereka. Melainkan mereka (yang gagal dalam berpoligami) memandang ujian tersebut sebagai bencana besar yang seolah akan mengobrak-abrik keluarga mereka tanpa ada titik penyelesaian. Sehingga banyak dari mereka memilih untuk menyelesaikan ujian tersebut dengan cara perceraian, Seperti kasus yang di alami oleh Ana Abdul Hamid.

Pemikiran masyarakat itu terjadi karena beberapa hal, pertama niat yang hanya untuk kesenangan belaka dari kaum laki-laki dan kedua, banyak dari mereka (kaum laki-laki yang ingin berpoligami) tidak menaati hukum yang ada, contoh; mereka (yang akan berpoligami) setelah berpoligami tidak menaati hukum Islam yang mewajibkan berlaku adil bagi pelaku poligami terhadap istri-istrinya dan anak-anak mereka baik dalam memenuhi urusan keduniawian lahir maupun batin, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain tanpa membedakan istri yang satu dengan istri yang lain.[15] Hal inilah yang membuat citra poligami dalam masyarakat menjadi negatif dalam masyarakat yang hanya tahu jika ada berita di media tentang poligami pasti akan mengarah pada perceraian. Sehingga sudah otomatis setiap kata poligami yang terdengar, masyarakat akan berpikiran negatif.

Sebenarnya para kaum laki-laki di Indonesia tingkat pemahaman tentang peraturannya rendah, sehingga mereka tidak tau jika ingin memiliki istri lebih dari satu harus menaati aturan/hukum Islam yang ada, baik yang tertulis di Al-Quran dan Hadist atau yang tertulis di Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan. Karena melakukan poligami, bukan berarti kita harus mengucilkan orang itu (pelaku poligami), juga sebaliknya jika kita berpoligami bukan berarti harus sombong kepada masyarakat lain karena kita bisa berpoligami. Poligami itu memiliki tanggung jawab yang besar – tidak mudah untuk membangun keluarga lebih dari satu istri. Selain harus menafkahi dua istri atau bahkan lebih dan anak-anak dari istri-istri itu, poligami juga menuntut pelakunya harus adil, jadi jangan memandang sebelah mata orang yang berpiligami. Para Suami yang berpoligami pun harus sadar bagaimana sifat alami perempuan, bahwa perempuan itu sangat sensitif perasaannya sehingga sering kali mudah cemburu. Banyak masyarakat kita tidak tahun tentang melaksanakan sunnah Rosul yang satu ini, sehingga sering kali masyarakat mengintimidasi keluarga yang berpoligami.[16]

Faktor ketidak tahuan masyarakat tentang poligami adalah yang paling utama, karena tokoh masyarat (Seorang haji dekat rumah penulis) juga berpendapat seperti itu. berpoligami itu tidak salah, melainkan sebuah amalan yang mulia yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Tetapi itu akan jadi salah jika ketika yang melakukannya (1) tidak diniatkan untuk mendapat ridha Allah SWT, (2) tidak berlaku adil, (3) hanya ingin kesenangan seksual semata, sehingga menjadi konflik internal dari keluarga itu sendiri. Akibatnya itu akan menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat terhadap keluarga yang berpoligami tadi. Karena keluarga itu mencemarkan nama baik keluarganya sendiri. Serta biasanya dalam masyarakat ketika ada keluarga yang bermasalah (salah satunya berkonflik karena poligami), maka keluarga (yang bermasalah) itu dianggap mencemarkan juga nama baik kampung mereka. Sehingga kadang terjadi intimidasi kepada keluarga yang bermasalah. Lain cerita jika ditempat mereka (keluarga yang berpoligami) tinggal lingkungan masyarakatnya tahu dan mengerti benar tentang poligami, maka masyarakat yang lain biasanya akan coba membantu keluarga yang berkonflik karena poligami tadi.[17]

Hukum poligami

Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama, pada tanggal 25 februari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991. Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan lahirnya undang-undang ini, persoalan mengenai kewenangan atau kompetensi dan hukum acara Peradilan Agama menjadi berakhir meskipun dalam batas-batas tertentu masih dapat dipersoalkan. Kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006.

Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang No.3 Tahun 2006 telah mengokohkan Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan. Secara hukum kedudukannya sudah tidak persoalkan lagi namun di sisi lain ia tidak mempunyai hukum materil atau hukum terapan unikatif. Untuk mengatasi persoalan ini, Kompilasi Hukum Islam hadir sebagai hukum positif yang diperlukan untuk landasan rujukan setiap Peradilan Agama.

Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 3 buku, yaitu:

Buku I tentang Hukum PerkawinanBuku II tentang Hukum KewarisanBuku III tentang Perwakafan.

Kompilasi dalam Hukum Islam dapat diartikan atau bisa dipahami sebagai fiqhyang dalam bahasa perundang-undangan terdiri dari bab-bab, pasal-pasal, dan ayat-ayat, namun Hukum Islam tidak hanya terbatas pada fiqh, tetapi juga masih terdapat beberapa produk Hukum Islam di Indonesia yang telah dijelaskan sebelumnya seperti fatwa ulama yang dalam kenyataannya dapat diterima oleh masyarakat, seperti fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, dengan adanya hal tersebut pada suatu kesempatan telah dilakukan perumusan kompilasi yang diadakan di Lokakarya Nasional yang diikuti oleh ulama-ulama fiqh dari organisasi-organisasi islam, ulama fiqh dari perguruan tinggi, masyarakat umum, sehingga hal tersebut dapat dinilai sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia. Dengan demikian dapat digambarkan secara garis besar melalui penyusunannya bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan konsensus ulama (ijma’).

Peraturan tentang poligami terdapat di Kompilasi Hukum Islam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Ketentuan pasal-pasal tentang poligami, diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam (KHI), ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga syarat-syarat formal. Pertama, pasal 55 yang memuat syarat substansial dari pendapat poligami yang melekat pada seorang suami yaitu terpenuhinya keadilan yang telah ditetapkan, bunyi dalam pasal 55:

Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.[18]

Syarat ini adalah inti dari poligami, sebab dari sinilah munculnya ketidak sepakatan dalam hukum akan adanya poligami. Dan dipertegas pula didalamnya bahwa apabila keadilan tidak dapat dipenuhi maka seorang suami dilarang berpoligami. Kedua, pasal 56 yang berbunyi:

(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.[19]

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.[20]

Pasal 56 diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia adalah negara hukum sehingga segala urusan hubungan manusia maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama (PA). Ketiga, pasal 57, yang berbunyi:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;istri tidak dapat melahirkan keturunan.[21]

Pasal 57 diatas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat pada seorang istri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami. Keempat, pasal 58 yang berbunyi:

Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :adanya pesetujuan istri;adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istr-istri dan anak-anak mereka.[22]Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,[23]persetujuan isteri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.[24]

Pasal 58 diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang istri sebagai respon terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami. Kelima, pasal 59 yang berbunyi; Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[25]

Bunyi pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari istri yang saling mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami dalam KHI tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebelum pemberlakuan semua peraturan tersebut di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Maka dari itu peraturan poligami tersebut dibuat, semata-mata ingin lebih memperketat suami-suami yang ingin melakukan poligami.

Adapun pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan suami untuk berpoligami, seperti hakim bisa saja mengabulkan permintaan suami untuk berpoligami, meski tidak ada alasan apapun, karena istri telah memberi persetujuannya. Dan dikatakan bahwa pada dasarnya persetujuan istri bukanlah sesuatu yang mutlak harus diperoleh. Jika istri tidak mau memberikan persetujuannya, namun hakim menemukan istri tersebut ternyata tidak mau atau tidak dapat melakukan kewajibannya, maka hakim berhak mengizinkan suami untuk berpoligami, demi kemaslahatan. Alasan itulah kemudian suami dapat dengan mudah melakukan praktek poligami meski tidak ada persetujuan istri, dan akhirnya konflik pun terjadi dalam rumah tangga mereka (para suami yang berpoligami). Namun adapun suami yang diam-diam berpoligami tanpa sepengetahuan istri dan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pengadilan untuk berpoligami. Semua inilah yang nantinya akan berujung pada konflik dan akan menemukan jalan buntu yaitu perceraian. Hal ini sama seperti yang dialami oleh Ana Abdul Hamid.[26]

Pendapat ahli

Agama menurut Durkheim merupakan perwujudan dari collective consciousness(kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciounesskemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus/upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan.[27] Poligami inilah yang menjadi tindakan umat Islam terutama khusus kaum laki-laki sebagai penambah amalan untuk bekal mereka di akhirat (dunia setelah kematian), sehingga dipercaya poligami adalah anjuran yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

            Poligami dapat merupakan perwujudan dari kesadaran kolektif jika pelaku/keluarga bisa paham dampak dan akibat yang akan muncul kelak nanti setelah melakukan poligami. Sehingga dengan mereka sadar dampak dan akibatnya, konflik yang akan datang bisa dijadikan sebagai pelajaran atau penguat individu dan keluarga tersebut,[28] seperti yang dipraktikan oleh kasus poligami Aa Gym. Dengan niat kokoh dan kesadaran bahwa itu adalah anjuran yang diajarkan Nabi, tentu bagaimana pun dampak dan akibatnya tidak akan menggoyahkan niat awalnya karena semuanya sudah dipersiapkan dari awal.

            Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.[29] Begitu teori tentang hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo. Konflik bukanlah sebuah bahaya, melainkan sebuah peluang. Setelah “terbiasa” dengan kekacauan/konflik, datang saat untuk merenung dan meninjau kembali kebenaran dari konsep tentang ketertiban yang selama ini kita pegang. Bahwa legislatif membuat peraturan, pengadilan mengadili, dan seterusnya. Secara singkat dikatakan, satu-satunya keadaan yang mungkin atau terpikirkan adalah ketertiban. Kekacauan/konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan konsep diatas – kita hanya bisa membaca ketertiban. [30]

 Contohnya, bilah kita mengamati masa lalu Negara Indonesia ini, kita akan terperanjat menemukan, cukup banyak terjadi masa-masa konflik di masyarakat kita. Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya lahir dalam dan dari kekacauan/konflik. Dari perubahan sebuah koloni menjadi negara merdeka tidak berlangsung dalam suasana tertib. Setelah Indonesia merdeka berbagai kekacauan masih terjadi, seperti di tahun-tahun usaha berbagai daerah untuk untuk memisahkan diri pusat. Kekacauan hebat di sekitar tahun 1965-an, serta kekacauan di tahun 1998. keadaan memang kacau, namun berangsur ketertiban puli kembali. Ketertiban bukan satu-satunya keadaan yang mungkin terjadi. Ternyata konflik dan ketertiban datang silih berganti dan itulah yang lebih mendekati apa yang bisa disebut sebagai normal. Tidak hanya Negara Indonesia yang mengalami hal-hal seperti disebut di atas, tetapi juga semua negara dan bangsa lain di dunia ini. Seperti gerakan Revolusi di Prancis, konflik antara kulit putih dan kulit hitam di Amerika Serikat, konflik Afrika, peristiwa Nazi di Jerman, dan lain sebagainya. [31]

Konflik poligami juga termasuk konflik yang bisa ditertibkan tidak dengan perceraian. Seperti pada kasusnya Aa Gym, yang keluarganya sampe sekarang bisa hidup harmonis. Awal mulanya dari konflik atau kekacauan yang besar dalam internak keluarganya ditambah dengan cercaan dari eksternal, untuk mengatasi itu semua dibutuhkan pikiran yang positif bahwa setiap permasalahan pasti selalu ada surutnya dan disertai dengan spiritual yang tinggi dari hati.[32] Hukum poligami di Indonesia lahir pada tahun 1974 dan berfungsi sebagai penekan tingkat perkawinan poligami. Sebelum berlakunya hukum tersebut seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Hukum yang dibuat bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.

KESIMPULAN

            Manusia pada hakekatnya berkembang, bergerak, berinteraksi tidak diam. Namun semua itu harus diwadahi dan diatur agar tidak bertindak sesuka hatinya. Hukum pun lahir sebagai wadah yang merangkul dan mengatur semua itu. Sama seperti hukum poligami di Indonesia, jika hukum ini tidak dibuat akan banyak suami-suami yang berpoligami dengan mudah. Maka dari itu hukum poligami pun dibuat untuk memperketat para suami yang ingin berpoligami. Setelah hukum tersebut dibuat kini timbul masalah baru yaitu adanya konflik dalam keluarga yang berpoligami. Karena menurut teori Satjipto hukum itu progresif mengikuti masyarakat, jadi ini adalah pertanda jika hukum poligami di Indonesia harus diupgrade, bukan hanya mengatur tentang perijinan melainkan juga harus mengatur jika ada konflik terjadi di dalam keluarga poligami.

            Dari pengamatan Prof. Satjipto Rahardjo terhadap praktik hukum selama ini tampak sekali “intervensi” oleh perilaku terhadap normativitas (perintah) dari hukum. Orang membaca peraturan dan berpendapat bahwa orang harus bertindak begini atau begitu. Tetapi, yang terjadi ternyata berbeda atau tidak persis seperti dimengerti orang. Inilah yang disebut dengan intervensi perilaku itu.[33] Dalam praktik poligami yang terjadi di Indonesia berdasarkan data empirik itu, dibangun konsep teori bahwa hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).[34]Van Doorn, sosiolog hukum Belanda mengutarakan secara lain. Hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, agama, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya.[35]

Setelah kita tahu penyebab konflik yang terjadi dalam poligami yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya, kita sadar sebenarnya bukan masalah poligami itu buruk melainkan masalah bagaimana niat kita ingin melakukan poligami tersebut. Jika kita hanya berniat ingin mendapatkan kesenangan semata dan tidak berfikir kedepannya mungkin poligami yang dilakukan akan berujung negatif. Namun jika niat, persiapan dari pihak istri dan suami sudah matang, dan menaati hukum poligami yang ada seperti halnya yang dialami oleh Aa Gym, maka kecil kemungkinan terjadinya konflik dalam poligami. walaupun terjadi konflik, keluarga yang matang dalam persiapannya dan dewasa dalam bertindak akan dapat menyelesaikan konflik tersebut. Hingga pada akhirnya anjuran/sunah dalam agama bisa dijalankan dengan baik dan mencapai tujuan keharmonisan yang diinginkan oleh masing-masing pihak yang bersangkutan, tanpa melanggar hukum islam dan hukum nasional yang berlaku di Indonesia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat: 3

A Coser, Lewis. Teori Konflik (from)https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik

Kurniawan, Dadan. Wawancara Terkait Poligami. Jakarta: Via Applikasi Sosial Media Whats App 2016.

Durkheim, Emile. Teori tentang agamahttps://ratnandoet.wordpress.com/2010/12/25/teori-tentang-agama-emile-durkheim/

Hadist Rasul SAW.

Rahardjo, Satjipto. 2006. “Membedah Hukum Progresif”. Jakarta: Kompas.

Rahardjo, Satjipto. Teori Hukum Progresifhttp://sergie-zainovsky.blogspot.co.id/2012/10/teori-hukum-progresif-menurut-satjipto.html

Republik Indonesia, 1974 Undang Undang Perkawinan no. 1.

Republik Indonesia, 1975 Peraturan Pemerintah no. 9.

Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.

https://repository.unand.ac.id/20252/

https://www.youtube.com/watch?v=iBHmG0OM1HU&index=5&list=PLY-KIgvTfLNbuOOQEgu0R6hiXrbJm6C_o

https://firmansyahbetawi.wordpress.com/2013/01/31/rahasia-agung-di-balik-poligami-nabi-muhammad-saw/

https://keluarga.kawansejadi.org/istri-minta-cerai-karena-poligami/

http://anekainfounik.net/2015/10/23/mengenal-ana-abdul-hamid-istri-yang-bikin-video-curhat-dipoligami/

[1] Lihat pasal 4 (1-2) UU no. 1 tahun 1974 tentang pernikahan

[2] Lihat pasal 5 UU no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

[3] Teori konflik Lewis A Coser (https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik)

[4]http://anekainfounik.net/2015/10/23/mengenal-ana-abdul-hamid-istri-yang-bikin-video-curhat-dipoligami/

[5] pengelolaan konflik dalam keluarga poligami (https://repository.unand.ac.id/20252/)

[6] Poligami (http://layinaa.blogspot.co.id/2012/03/poligami_31.html)

[7] rahasia agung dibalik poligami Nabi Muhammad SAW (https://firmansyahbetawi.wordpress.com/2013/01/31/rahasia-agung-di-balik-poligami-nabi-muhammad-saw/)

[8] Lihat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3

[9] Hadist Riwayat Ahmad, Syafi’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi

[10] Hadist Riwayat Imam Ahmad

[11] Aa Gym di Kick Andy (https://www.youtube.com/watch?v=iBHmG0OM1HU&index=5&list=PLY-KIgvTfLNbuOOQEgu0R6hiXrbJm6C_o)

[12] Aa Gym di Kick Andy

[13] Teori konflik Lewis A Coser (https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik)

[14] Aa Gym: Mengapa Berpoligami?

[15] Surat An-Nisa Ayat 3

[16] Wawancara Dadan Kurnia (Poligami), Kepala Pesantren Santri Siap Guna (SSG) Daarut Tauhiid (DT), Jakarta 17 Januari 2016, via applikasi sosial media Whats App.

[17] Wawancara H. Selamet, Tokoh Masyarakat Seorang di Komplek Liga Mas, Jakarta 17 Januari 2016.

[18] Pasal 55 KHI

[19] Lihat Bab.VIII Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975

[20] Pasal 56 KHI

[21] Pasal 57 KHI

[22] Lihat pasal 5 Undang Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

[23] Lihat ketentuan pasal 41 huruf b peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975

[24] Pasal 58 KHI

[25] Pasal 59 KHI

[26]http://anekainfounik.net/2015/10/23/mengenal-ana-abdul-hamid-istri-yang-bikin-video-curhat-dipoligami/

[27] Teori tentang agama Emile Durkheim (https://ratnandoet.wordpress.com/2010/12/25/teori-tentang-agama-emile-durkheim/ )

[28] Teori konflik Lewis A Coser (https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik)

[29] Teori hukum progresif Satjipto Rahardjo (http://sergie-zainovsky.blogspot.co.id/2012/10/teori-hukum-progresif-menurut-satjipto.html)

[30] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas) 2006, hlm. 83

[31] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas) 2006, hlm.

[32] Wawancara Dadan Kurnia (Poligami), Kepala Pesantren Santri Siap Guna (SSG) Daarut Tauhiid (DT), Jakarta 17 Januari 2016, via applikasi sosial media Whats App.

[33] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas) 2006, hlm. 4

[34] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas) 2006, hlm. 4

[35] Teori Hukum Van Doorn yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukuMembedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas), hlm. 4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Karakteristik dan Unsur yang diKaji dalam Penelitian Tindakan Kelas