Narkoba Menghancurkan Anak dan Ekonomi Bangsa



NARKOBA MENGHANCURKAN ANAK
DAN EKONOMI BANGSA
Oleh: Ahmad Fauzan
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama  Al-Kamal Sarang Rembang
Email:  father.fahri15@gmail.com

Abstrak

Produksi maupun pengedaran narkoba telah mengakibatkan kerugian ekonomi tidak sedikit dan benar-benar sudah terbukti menghancurkan anak bangsa. Meskipun dampaknya demikian ini, akan tetapi para produsen dan pengedarannya terus saja melanjutkan aktifitasnya. Sejumlah pasar baru juga dibuka untuk mengedarkan narkoba. Dalam kajian Islam, kalau penggunanya saja bisa dihukum berat, maka produsen dan pelaku pengedarannya pun harus dihukum lebih berat lagi. Hukuman ini diharapkan dapat mencegah meluasnya penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Kata Kunci: narkoba, ekonomi, anak, hukuman

Abstract

Production and trafficking of drugs has resulted in economic losses a bit and really proven destroy the nation. Thus although the impact of this, but the producers and circulated kept continuing its activities. A number of new markets also opened to distribute drugs. In Islamic studies, if only users can be punished severely, manufacturers and circulated perpetrators must be punished more severely. Sentencing is expected to prevent the spread of drug abuse in Indonesia.

Keywords: drugs, economy, children, punishment

PENDAHULUAN

Dalam ajaran Islam digariskan mengenai keharusan setiap manusia untuk tidak membelanjakan uangnya secara sia-sia atau di jalan yang berlawanan dengan norma-norma yang dibenarkan agama (Islam). Hal ini diatur supaya setiap pemeluk agama dapat menjalani kehidupan di jalan yang menyelamatkan, menyehatkan, dan membahagiakannya.
Pengedaran obat-obat terlarang atau narkoba semakin lama semakin memprihatinkan. Korban anak bangsa semakin lama juga semakin banyak. Para pengedar terus saja tidak menghentikan pengederannya, dan bahkan membuka pasar-pasar baru di tengah masyarakat. Mereka ini telah terjerumus di jalan yang berlawanan dengan ajaran Islam.
Hampir setiap hari tiada berita tanpa  narkoba. Media massa tidak kenal henti memberitakan pengedaran atau penyalahgunaan narkoba. Meski demikian, para produsen dan pengedarnya seperti sudah mati rasa, karena mereka tidak mengenal henti untuk memperdagangkannya.
Mereka juga sepertinya tidak kenal takut dengan berbagai putusan pemberatan atau hukuman mati yang dijatuhkan oleh hakim. Barangkali, mereka sudah menganut prinsip kalau mati itu bisa kapan saja dan dimana  saja serta dengan cara apa saja, sehingga mereka tidak peduli dengan perbuatan yang dilakukannya.


PEMBAHASAN
Fenomena Penghancuran Anak Bangsa

Putra mantan Ketua Umum PPP dan juga mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, Ivan Haz tertangkap tangan saat membeli narkoba bersama dengan beberapa prajurit TNI. Bersama Ivan ini juga  ada oknum anggota DPR.
Kata yang tepat untuk menyikapi itu adalah “memilukan” dan “memalukan”. Memilukannya, kasus tangkap basah itu makin menggenapi sinyalemen selama ini kalau penyalahgunaan narkoba sudah merasuk ke segala lapisan masyarakat. Sedang memalukannya, mereka itu kumpulan elemen bangsa berpengaruh, yang seharusnya menjadi pejuang utama dalam pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
Apa yang menimpa putra mantan Wapres itu sebenarnya mengingatkan kita atau semua elemen bangsa untuk melakukan evaluasi. Setiap elemen bangsa yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba merupakan anak-anak bangsa.
Di ranah sumberdaya manusia yang masih poduktif atau berusia muda, kondisinya memang rentan tergoda menikmati gaya hidup yang serba hedonis atau memuaskan kepentingan sesaat dan instan.
John Neisbith dan isterinya Patricia Aburdene pernah meramalkan paska tahun 2000 akan banyak terjadi perubahan, mulai dari perubahan gaya berpolitik, berkeluarga, bergaul, bercinta, membangun lembaga, hingga menata budaya. Rupanya ramalan ini terbukti, setidak-tidaknya dapat terbaca dalam pergumulan gaya hidup  pemuda, pelajar, dan mahasiswa.[1]
Apa yang disebut oleh Futurolog itu sebagai sinyal kuat, bahwa di era globalisasi informasi dan budaya ini, masyarakat dunia harus siap menghadapi, menyikapi, dan menyeleraskan atau mengadaptasikan dirinya dengan akselerasi revolusi gaya hidup. Pelajar, pemuda,  dan mahasiswa sejatinya pun dituntut untuk semakin cerdas dan profesional dalam menyikapi perubahan besar di tengah lingkungannya.
Kalau mereka tidak mampu membaca dan menyelaraskan diri dengan kecerdasan dan kebeningan moral dan intelektualnya, jangan diharapkan akan tetap bisa menjadi pelaku sejarah yang sukses memproduk aktifitas bermakna di muka bumi ini, terutama di lingkaran komunitasnya.

Terjebak Hedonisme Gaya Hidup
“Jika dalam diri seseorang masih memberi tempat liberal bagi hedonisme (pemujaan kesenangan), maka para penjahat akan terus menjadikannya sebagai lahan empuknya”, demikian pernyataan Syafik A. Hasan[2] yang sebenarnya mengingatkan setiap elemen sosial supaya tidak gandrung dengan perburuan kesenangan seperti kepuasan instan.
Sayangnya, tidak sedikit ditemukan elemen sosial di negara ini yang lebih memilih dan menyukai pendewaan kesenangan atau perburuan kepuasan sesaat, meski kepuasaan sesaat ini jelas-jelas menyesatkan dan potensial menghancur leburkan diri dan orang lain.
Kasus keterperangkapan anaknya mantan wapres, oknum TNI, dan lainnya menunjukkan, bahwa kepentingan hedonisme ditempatkan dalam ranah superioritas. Mereka ini seperti tidak berkutik ketika penjahat menjual dan menyebarkan narboba sebagai “teror” yang mematikan  dirinya. Dirinya seperti sudah menyerah pasrah dilucuti dan dijadikan obyek mainan oleh para produsen dan distributor narkoba.
Mereka yang menyerah di tangan pebisnis narkoba itu tak ubahnya zombi (mayat hidup) di belantara para mafia. Konsekuensi sebagai mayat hidup ini adalah  menerima diperintah oleh pihak-pihak yang menguasainya. Mereka kehilangan kecerdasan moral dan intelektualnya, tidak bisa dan tidak terbiasa melakukan penolakan saat para pebinis narkoba menguasanya. Konstruksi pikiran dan gerakannya selalu mengikuti rumus-rumus kapitalisme kriminalitas atau doktrin-doktrin jagat bisnis sesat yang dikonstruksi pihak yang mencengkeramnya.
Mereka pun tampak sangat gampang dicengkeram atau dijadikan lahan empuk oleh pebisnis narkoba. Mereka terseret dalam lingkaran ajakan dan desakan revolusi gaya hidup yang menghancurkan masa depannya. Keterjebakan ini sebagai bagian dari kondisi hidup remaja yang memang masih dalam proses pembentukan, sehingga cenderung lebih mudah dipengaruhi untuk memasuki ranah hedonisme. Mereka ini mudah mengikuti pola labelling, sehingga terkadang nekad melakukan hal yang terlarang.  Menurut Goffman, bahwa  labelling sering diartikan sebagai cap sosial atas seorang individu sehingga terjadi semacam kontrol sosial atas diri seorang individu.[3]
Psikolog kenamaan Sarlito Wirawan[4] menyebut, bahwa remaja merupakan masa-masa yang paling menyenangkan pada umumnya. Fase perkembangan remaja merupakan masa yang paling rentan dan kritis. Hal ini dimaksudkan karena masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia memiliki batasan umur antara 11 tahun hingga 24 tahun dan belum menikah.
Mengapa produsen dan pengedar narkoba demikian akseleratif dalam menjadikan Indonesia sebagai pasar pengedaran atau penyalahgunaan? Bukankah sudah demikian banyak para pelaku produksi dan pengedaran narkoba yang dihukum mati.
Memang faktanya, sudah demikian banyak pelaku pengedaran narkoba yang berhasil dijerat oleh aparat penegak hukum  dan dijatuhi hukuman mati oleh para hakim, akan tetapi putusan hakim yang sudah “mematikan” hak hidupnya, tetap saja belum membuat agregasi perkembangan penyalahgunaan narkoba berkurang, apalagi berhenti.
Pengaruh hedonisme telah benar-benar membuat remaja atau anak muda terjerumus dalam gaya hidup  yang membiusnya. Globalisasi dan pergaulan teman sebaya mempengaruhi gaya hidup remaja dalam ranah hedonisme. Hal ini terkait dengan konsumerisme yang dicerminkan oleh pengunaan IPTEK, trend fashion dari media massa, transportasi serta alat telekomunikasi yang kemudian membawa informasi kepada para remaja ini. Menurut Steven Miles, konsumerisme merupakan suatu pola pikir atau tindakan dimana orang membeli barang bukan karena dia membutuhkan barang melainkan karena tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan atau membuatnya menjadi senang. Dengan kata lain, konsumerisme sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna, serta memiliki fungsi sosial dan ekonomis.[5]
Pada dasarnya perilaku hedonis berlanjut dan tidak bisa dihentikan ketika pelaku hedonis sudah tidak diterima di kalangan remaja, sehingga pelaku hedonis sebisa mungkin mempertahankan gengsi atau identitasnya agar tidak dijauhi oleh teman sesama hedonisnya. Cara ini tentunya akan menimbulkan tekanan atau pressure secara tidak langsung di dalam diri pelaku hedonis yang dituntut agar tetap eksis serta mengikuti (berkiblat) gaya hidup yang mewah meski di luar kemampuan remaja tersebut. Kebutuhan ini mengarah pada munculnya hal-hal patologis atau timbulnya dan maraknya penyakit sosial seperti mencuri, “menjual diri”, hutang dan juga masuk ke dalam jaringan narkotika.[6]
Gaya hidup hedonisme juga berdampak pada perubahan identitas si pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka dan memilih nilainilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya. Mengubah baju sekolah mereka menjadi lebih menarik seperti membuat baju sekolah lebih ketat dan rok pendek serta rambut tidak diikat dan diwarnai, dan mereka cenderung memiliki prestasi edukasi dan lainnya yang rendah di sekolahnya. Tidak jarang mereka bolos sekolah atau mengabaikan tugas-tugas sekolah selama beberapa hari hanya untuk memenuhi hasrat “bersenang-senangnya”. Selain itu pelaku hedonis akan lebih memuja atau menasbihkan uang dibandingkan dengan memuja atau mengimani keyakinannya (Tuhan), lebih memilih untuk pergi ke mall, rekreasi ataupun pacaran daripada ke tempat suci.[7]
Akhirnya,  mereka itu tidak jera atau bibit-bibit penyalahgunaan tetap tumbuh berkembang, tidak lepas dari praktik pemanjaan yang diberikan oleh sejumlah oknum aparat penegak hukum yang memberikan beragam masih terloibat dalam “praktik-praktik  kotor”.
Dari berbagai rumor yang beredar, bahwa putusan rehabilitasi misalnya merupakan jenis putusan yang diduga rawan “dibarterkan”. Katakanlah terdakwa pengedar, yang semestinya bisa dijatuhi putusan hukuman puluhan tahun atau hukuman mati, digeser (direkayasan) menjadi putusan rehabilitasi. 
Soal benar tidaknya tuduhan itu, yang jelas sindikat (mafia) narkoba menjadikan lubang-lubang birokrasi peradilan dan lemahnya aparat penegak hukum sebagai open the way   untuk melakukan dan mengamankan jalur pengedaran narkoba.
Terbukti, meskipun hukuman mati paling sering menimpa pelaku penyalahgunaan narkoba, label negeri ini masih melekat, yakni jadi negeri yang semakin lama semakin nyaman bagi pebisnis narkoba. Mereka tidak pernah jera karena para pengelola negerim yang semestinya menjadi “pembasmi” pengedaran narkoba ini masih saja gampang dan gemar bermain-main dengan hukum.
Karena yang dikuasai oleh pebisnis narkoba adalah sejumlah jalur strategis di lini penegakan hukum (law enforcement) itu, jelas akibatnya sangat fatal bagi keberlanjutan hidup bangsa. Bukan hanya norma yuridis, jagat peradilan, atau wilayah berlakunya hukum yang terkooptasi dan terdestruksi, tetapi konstruksi kehidupan masyarakat juga rusak disana-sini.
Jaringan pebisnis narkoba juga menjadi kian liberal dan akseleratif akibat dirinya merasa diberi kondisi yang rentan bisa meliberalisasikan dan barangkali “mengabsolutkan” diri dan kelompoknya untuk berbisnis narkoba. Jaringan pebisnis ini misalnya sudah demikian kuat merambah anak-anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam mengatakan Sholeh setidaknya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah pengedar narkoba anak meningkat hingga 300 persen. Kita butuh sinergi dalam jihad besar melindungi anak Indonesia, pasalnya anak yang menjadi pengedar itu terus meningkat.
Beberapa tahun lalu, Indonesia cuma menjadi negara transit oleh sindikat internasional. Namun, label itu telah lama luntur dan Indonesia berubah wajah menjadi destinasi penjualan narkoba. Indonesia bahkan mulai dikenal sebagai sentra produksi narkoba itu. Berbagai jenis zat-zat adiktif berkembang sangat  pesat.
Kalau sudah begitu kondisinya, maka menjadikan pengedaran narkoba sebagai musuh bersama (common enemy) menjadi mutlak hukumnya. Produsen dan pengedar harus diperlakukan oleh setiap elemen bangsa ini sebagai “penghancur” yang wajib dikalahkannya.
Mengalahkan para “penghancur” itu harus dengan mengerahkan semua kekuatan strategis bangsa, mulai dari seluruh aparat penegak hukum hingga elemen edukasi, masyarakat, dan keluarga.
Anak-anak Indonesia harus dididik bukan sekedar paham soal hukum yang meregulasi larangan penyalahgunaan narkoba dan ancaman hukumannya yang bersifat pemberatan, tetapi juga diperkuat ketahanan moralnya supaya mereka lantang menyampaikan penolakan ketika mencoba dijadikan “proyek eksperimen” kalangan pebisnis narkoba.
Anak-anak tidak cukup dikenalkan dengan semboyan “say no to drug”, tetapi juga harus dibentuk pikiran dan psikologisnya supaya mampu menjadikan narkoba benar-benar sebagai common enemy

Dampak Ekonomi
Badan Narkotika Nasional memperkirakan kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bakal mencapai Rp 57 triliun di tahun 2013. Jumlah tersebut naik drastis 75,93 persen ketimbang angka Rp 32,4 triliun pada 2008. Sebab) Indonesia bukan lagi menjadi negara transit peredaran narkoba, melainkan sudah menjadi negara produksi narkoba.[8]
Di tahun 2008, kerugian Rp 32,4 triliun itu terdiri dari kerugian biaya individual Rp 26,5 triliun dan biaya sosial Rp 5,9 triliun. Dalam biaya individual itu, sebagian besar, yakni 58 persen, dipakai untuk mengongkosi konsumsi narkoba para pecandu. Sedangkan 66 persen biaya sosial digunakan untuk kerugian biaya kematian dini akibat narkoba. Fakta yang menyedihkan, sebagian besar pecandu adalah remaja dan warga berpendidikan tinggi, modal bangsa yang tidak ternilai. [9]
Boediono saat itu dalam kapasitas sebagai Wakil Presiden menanggapi, bahwa hari ini kita berkumpul bukan untuk perayaan, tapi menegaskan komitmen dan tekad melawan narkoba, kita tidak akan beri toleransi penyalahgunaan narkoba dalam bentuk apapun di masyarakat. Ini ancaman maha serius bagi generasi muda bangsa. Peduli masalah narkoba berarti peduli masa depan bangsa. [10]
Lebih lanjut Boediono meminta masyarakat jangan abai dan menolerir penggunaan maupun peredaran narkoba di lingkungannya. Mungkin di antara kita ada yang bilang, yang penting bukan saya atau keluarga. Hal ini keliru. Kalau Anda memberi toleransi, mungkin yang jadi korban berikutnya adalah anak-cucu sendiri, Kita tak hidup dalam isolasi alias tinggal dalam rumah yang steril. Jika lingkungan sakit, keluarga manapun bisa pula terjangkit sakit yang sama. [11]
Sebagai sampel misalnya bila penyalahguna atau pengguna narkoba di Provinsi Jambi saja sebanyak 50.420 orang, dan rata-rata setiap bulannya menghabiskan uang sebanyak Rp.500.000. Jadi setahun saja, bisa anda bayangkan berapa banyak uang yang sudah ia habiskan untuk mengkonsumsi barang haram tersebut. (dengan asumsi, 50.420×500.000×12=Rp…).[12]
Berarti, uang yang sia-sia digunakannya untuk membeli narkoba sangatlah banyak. Coba dibayangkan, apabila untuk membangun infrastruktur atau untuk program pengentasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan lainnya, yang telah dicanangkan oleh pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Berapa dana yang mesti dikeluarkan oleh pemerintah dan keluarga untuk mengobatinya, merehabilitasinya, paska rehabilitasi, P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba), serta biaya pemakamannya, yang meninggal dunia akibat narkoba dengan rata-rata seharinya di Indonesia sebanyak 51 orang, ditambah lagi yang terkena atau terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yakni sebanyak 555 orang. Apalagi bila dikalikan di 33 provinsi seluruh Indonesia, berapa banyak uang negara dan uang rakyat digunakan untuk menangani narkoba ini, sangat membebani ekonomi negara kita, padahal aspek ini seharusnya memadai untuk mensejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia.[13] Kondisi ini menunjukkan kalau penyalahgunaan narkoba di Indonesia benar-benar sudah sampai pada tahap sangat serius atau menjadi ancaman utama  terhadap bangunan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Pendekatan Islam

Sebenarnya kata narkotika tidak tercantum dalam Al-quran maupun Al-Hadits, tapi narkotika ini dikaitkan dengan kata khamar karena sama-sama ada dampak yang ditimbulkkannya yaitu sifat memabukkan. Dalam hukum Islam dikenal dengan adanya sumber-sumber hukum Islam, dan salah satu sumber hukum Islam itu yaitu dengan menggunakan metode qiyas atau bisa disebut juga dengan analogi hukum. Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan  hukumnya karena adanya persamaan .
Dari segi sifat maupun bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahguna narkotika sama yang bahkan lebih dahsyat dari minuman keras atau khamar, maka ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits Rasulullah Saw yang melarang atau mengharamkan minuman keras atau khamar dapat dijadikan dasar atau dalil terhadap dilarang dan diharamkannya penyalahgunaan narkotika.
Dasar yuridis dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan diharamkannya penyalahgunaan narkotika sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi: “mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. ”Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ”yang lebih dari keperluan.”Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS. Al-Baqarah: 219).
Firman Allah Swt dalam ayat lainnya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perkerjaan itu).”(QS. Al-Maidah: 90-91). Ayat ini menunjukkan, bahwa paska seseorang meminum minuman keras atau jika ini narkoba dianalogikan dengannya, maka siapapun yang mengonsumsinya akan terjerumus melakukan hal-hal lain yang sangat buruk atau keji.
Dalam studi keislaman,  khamar digolongkn miniman memabukkan. Khamar dalam bahasa arab berarti ”menutup” kemudian dijadikan nama bagi segala yang memabukkan dan menutup aurat. Selanjutnya, kata khamar dipahami sebagai minuman yang membuat peminumnya mabuk atau ganguan kesadaran. Pada zaman klasik, cara mengonsumsi benda yan memabukkan diolah oleh manusia dalam bentuk minuman sehingga para pelakunya disebut peminum. Pada era modern, benda yang memebukkan dapat dikemas menjadi aneka ragam kemasan berupa benda padat, cair, dan gas yang dikemas menjadi bentuk makanan, minuman, tablet, kapsul, atau serbuk, sesuai dengan kepentingan dan kondisi si pemakai.[14]
Ada sebuah hadits yang menetapkan keharaman khamar berdasarkan hadits Rasulullah saw yang berbunyi : Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda setiap yang memabukkan adalah arak dan setiap yang memabukkan adalah haram. (Riwayat Muslim)
Para ahli-ahli fiqih (fuqaha) ada yang memberi pengertian khamar, yaitu cairan yang memebukkan, yang terbuat dari buah-buahan seperti anggur, kurma yang berasal dari biji-bijian seperti gandum dan yang berasal dari manisan seperti madu, atau hasil atas sesuatu yang mentah, baik diberi nama klasik atau nama modern yang beredar di dalam masyarakat.[15]
Zat yang digolongkan sejenis minuman memabukkan adalah narkoba. Narkoba adalah kepanjangan dari narkotika, psikotropika, dan obat berbahaya. Zat ini digolongkan sejenis minuman khamar, termasuk juga zat yang memabukkan dan haram status hukumnya dikonsumsi oleh manusia. Hal ini dikemukakan oleh Al-Ahmady Abu An-Nuur. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa narkoba/narkotika melemahkan, membius, dan merusak akal serta anggota tubuh manusia lainnya[16]. Dasar hukum pengharaman narkotika adalah hadits Rasulullah saw. yang berbunyi :
Rasulullah Saw. melarang setiap perkara yang memabukkan dan dapat melemahkan badan
            Selain dari hadits di atas ada beberapa hadits lainnya yang mengharamkan narkotika, minuman keras atau khamar yaitu sebagai berikut [17]
1) Sesungguhnya Rasullullah saw. bersabda: “sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka walaupun sedikit pun adalah haram” (H.R. Ahmad dan Imam Empat).
2) Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “setiap yang memabukkan haram” (H.R. Muslim).
3) Nabi saw. bersabda: “setiap minuman yang memabukkan adalah haram” (H.R. Bukhari).
4) Allah melaknat (mengutuk) mengenai khamar, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, pemakan atau penyimpannya, pembawa dan penerimanya.(H.R. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ibnu Umar).
5) Malaikat Jibril datang kepadaku lalu berkata : Hai Muhammad, Allah melaknat minuman keras, pemerasnya,orang-orang yang membantu pemerasnya, penerima/penyimpannya, penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, orang-orang yang mau disuguhinya. (H.R. Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abas).
Dalam kisah lain disebutkan, bahwa ada sebuah pendapat lagi yaitu pendapat Ibnu Abi Syaibah. Dia meriwayatkan dari Abi Abdul Rahman As Salimiy dari Ali radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: “sekelompok penduduk Syam telah minum khamr. Kemudan mereka memutarbalikkan ayat-ayat Al-Quran. Lalu Umar bermusyawarah dengan para sahabat. Umar berkata, “Aku perintahkan mereka untuk bertobat, jika mereka tidak bertobat, maka di-jilid 80 kali, jika tidak mau bertobat penggallah lehernya, karena hal itu telah mengubah apa yang diharamkan Allah.” Kemudian penduduk Syam bertobat. Akhirnya mereka di-jilid 80 kali.[18]
Berdasarkan sumber hukum tersebut, dapat dipahami, bahwa Islam menempatkan penyalahgunaan narkoba sebagai pelaku kejahatan, yang bukan hanya berhubungan dengan dirinya saja, tetapi juga pihak-pihak lain. Karena akibatnya yang sangat kompleks terhadap kehidupan di skala mikro maupun makro, maka logis jika pelakunya, apalagi produsen dan pengedarnya mendapatkan hukuman berat.
Kerugian secara ekonomi dapat ditempatkan sebagai bentuk pemborosan atau penghancuran sumberdaya masyarakat dan bangsa. Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari anggota masyarakat dari kalangan miskin, akhirnya terdistribusi dan bahkan habis di jalan yang sesat dan jahat.

KESIMPULAN

Narkoba merupakan salah satu zat yang mempunyai kekuatan destruksi yang luar biasa. Zat ini telah menjadi pembunuh hebat di tengah masyarakat. Produksi maupun pengedaran narkoba telah mengakibatkan kerugian ekonomi tidak sedikit dan benar-benar sudah terbukti menghancurkan anak bangsa. Indonesia telah dijadikan pasar khusus oleh produsen dan pengedar.
Meskipun dari segi dampaknya demikian mengerikan, akan tetapi para produsen dan pengedarnya tetap dan terus saja melanjutkan aktifitasnya dengan mencari konsumen-konsumen baru yang bisa dijadikan sebagai penguat bisnisnya. Sejumah pasar baru juga dibuka untuk mengedarkan narkoba. Dalam kajian Islam, bilamana penggunanya saja bisa dijatuhi hukuman berat, maka tentu saja produsen dan pengedarnya pun harus dihukum lebih berat lagi.



DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Asadulloh Al faruq, 2009, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia.
Ed. Kurniawan, Budi Setiawan, Noldy Ratta, Ketut Wirya, I Ketut Lancar, dan Imanuel E. Raitung, 2010. Narkotika dalam Pandangan Islam, Jakarta: BNN (Badan Narkotika Nasional).
Haryanto Soedjatmiko,.. 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Design Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme. Yogyakarta: Jalasutra.
Mudji Sutrisno,& Hendar Putranto, 2005, Teori–Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sarlito W Sarwono. 2003, Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Syafik A. Hasan, 2011, Hedonisme: Berhala Abad 21,  Jakarta: Sinar Imu, 2011.
Zainuddin Ali, 2009, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika.

Makalah

Ali Badruddin,  Tugas Bersama Menyelamatkan Generasi Muda dari Pesona Narkoba, Makalah, 12 Maret 2015. 

Internet

Putu Ari Purwanti, Gaya Hidup Hedonisme Di Kalangan Remaja Putri,  http://download.portalgaruda.org/article.php?article=365883&val=937&title=GAYA%20HIDUP%20HEDONISME%20DI%20KALANGAN%20REMAJA%20PUTRI%20(Studi%20Kasus%20Komunitas%20Warung%20Bumi%20Ayu,%20Jalan%20Gunung%20Agung,%20Kota%20Denpasar), akses 11 Maret 2015.


[1]Ali Badruddin,  Tugas Bersama Menyelamatkan Generasi Muda dari Pesona Narkoba, Makalah, 12 Maret 2015, hal. 3. 
[2] Syafik A. Hasan, Hedonisme: Berhala Abad 21,  (Jakarta: Sinar Imu, 2011), hal. 21.
[3] Mudji Sutrisno,& Hendar Putranto, Teori–Teori Kebudayaan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005). hal, 81.
[4] Sarwono, Sarlito W. Psikologi Remaja. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 11-14.
[5] Haryanto Soedjatmiko,.. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Design Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme. (Yogyakarta: Jalasutra, 2008),   hal. 9.
[7] Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[13]Ibid.
[15] H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 78-79.
[16] Ibid,  hal. 79-80
[17]Ed. Kurniawan, Budi Setiawan, Noldy Ratta, Ketut Wirya, I Ketut Lancar, dan Imanuel E. Raitung,Narkotika dalam Pandangan Islam, (Jakarta: BNN (Badan Narkotika Nasional), 2010), hal 17-19.
[18]Asadulloh Al faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009),  hal. 58

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Karakteristik dan Unsur yang diKaji dalam Penelitian Tindakan Kelas