Perceraian, Solusi Terbaikah?
Perbedaan
prinsip dan pertengkaran mengakibatkan perceraian, solusi terbaikkah? Banyak
efek yang mengakibatkan kondisi yang tidak menyehatkan dari proses perceraian.
Bertambahnya porsi tekanan psikis, depresi yang memicu penyakit degeneratif,
atau bahkan gangguan pada proses perkembangan jiwa sang buah hati.
Dewasa
ini kian marak pergeseran makna dari hubungan antara pernikahan dan perceraian.
Jika pada masa lalu proses perceraian dalam pernikahan merupakan suatu
momok yang tabu dan aib untuk dilangsungkan, kini persepsi bahwa bercerai sudah
menjadi suatu fenomena yang umum di masyarakat.
Setiap
orang pasti menginginkan yang terbaik dalam hidupnya, termasuk dalam kehidupan
rumah tangganya. Namun realita menunjukkan sebaliknya. Angka perceraian semakin
meningkat setiap tahunnya, bahkan gugatan cerai kini paling banyak didapatkan
dari pihak perempuan selaku istri.
Hingga
bulan Oktober 2008 terdapat 84.415 kasus perceraian di Indonesia. Di wilayah
Jakarta saja terdapat 5193 kasus perceraian selama tahun 2008 dengan gugatan
terbanyak datang dari istri sebanyak 3.105 kasus.
Perubahan
pola cerai gugat yang terjadi sekarang ini diduga karena adanya beberapa faktor
yang menyebabkan, antara lain adalah keberhasilan pendidikan emansipasi
sehingga kaum perempuan sangat mengetahui hak-hak dan kewajibannya yang
dilindungi oleh undang-undang, pribadi perempuan yang mandiri dan tidak
bergantung pada suami sehingga kata cerai lebih mudah dikeluarkan jika terjadi
perselisihan sepele sekalipun, serta semakin maraknya keberadaan PIL (Pria
Idaman Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) karena mayoritas perempuan tidak mau
dimadu.
Penyebab
Perceraian
Adanya masalah dalam perkawinan merupakan alasan perceraian
yang umum diajukan oleh pasangan suami istri. Alasan tersebut kerap diajukan
apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam
perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan
perceraian.
Laki-laki
dan perempuan berbeda dalam hal mengendalikan emosi masing-masing. Laki-laki
cenderung mempertahankan ego dan harga diri mereka dan tidak kuat bila harus
mendengar kritik dan keluhan istri secara terus-menerus.
Sedangkan
perempuan cenderung lebih emosional, senang mengritik dan menangis. Sikap-sikap
yang berbeda tersebut kerapkali memicu pertengkaran bila tidak dihadapi dengan
kecerdasan emosi untuk saling mengerti perasaan masing-masing.
Bahkan alasan sekecil apapun dapat meledak ketika terlibat perdebatan sehingga
menjadi terlalu terbawa emosi, bersikap mementingkan diri sendiri, berlaku
tidak jujur pada pasangan, tidak ada saling menghargai sesama pasangan, dan
kurangnya perhatian terhadap pasangan.
Hal
ini terutama dirasakan pada kasus perkawinan di bawah umur dengan tingkat
pendidikan rendah, dimana kedua belah pihak belum siap mengatasi berbagai
pertikaian yang mereka jumpai secara dewasa. Cara mereka berpikir dan bertindak
menentukan cara mereka mengambil keputusan dalam hidup.
Dampak
Perceraian
Tidak diragukan, perceraian memang memiliki dampak negatif
terhadap setiap pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak.
Perceraian dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru
dengan lawan jenis.
Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Demografi Universitas Rostock di
Jerman, ditemukan bahwa seseorang berusia > 50 tahun yang memiliki
perceraian memiliki waktu hidup 9 tahun lebih pendek daripada mereka yang tidak
bercerai. Hal ini diduga akibat pengaruh besar perceraian pada cara hidup
seseorang. Akibat paling buruk perceraian adalah perubahan gaya hidup seseorang
menjadi lebih buruk yang akan mendekatkannya pada kematian.
Perceraian
juga dapat mendatangkan dampak besar yang buruk terhadap perkembangan
psikologis anak. Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi
perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum
mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang
panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.
Tidak demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja
harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya
punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Kadangkala, perceraian
adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan
sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu
menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian
dianggap merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam
keluarga dengan kehidupan perkawinan yang buruk. Bagaimanapun, proses adaptasi
terhadap perubahan tersebutlah yang menyebabkan terjadinya perubahan psikologis
anak.
Perceraian
umumnya didahulu dengan banyak konflik dan pertengkaran. Terkadang pertengkaran
tersebut masih dapat ditutupi dari anak, namun tidak jarang anak dapat melihat
dan mendengar pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasannya
akan membuat anak takut, sedih dan bingung. Mereka tidak pernah suka melihat
kedua orangtuanya bertengkar. Anak dapat menjadi pemurung dan prestasinya
menurun. Ditambah dengan masalah perebutan hak asuh anak, yang membuat anak
bingung dan merasa bersalah bila memilih salah satu dari kedua orangtuanya.
Setelah
bercerai, secara hukum ibu memang memiliki hak pengasuhan anak, tetapi apakah
ini yang terbaik? Telah banyak studi yang meneliti dampak perceraian terhadap
perkembangan psikologis anak, salah satunya membuktikan bahwa remaja yang
memiliki orang tua yang bercerai mengalami kerinduan terhadap figur seorang
ayah. Anak laki-laki memerlukan ayah untuk menjadi laki-laki yang bijaksana
sedangkan anak perempuan memerlukan ayah untuk belajar bagaimana berhubungan
dengan laki-laki. Masing-masing memerlukan penerimaan sebagai laki- laki dan
perempuan sewaktu mereka tumbuh menjadi dewasa. Berbagai perasaan berkecamuk
dalam batinnya seperti perasaan tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh
orangtua yang pergi, sedih, kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan
menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtuanya bercerai, namun tidak mampu
mengutarakannya karena takut menambah kepedihan orangtuanya. Akibatnya,
perasaan-perasaan tersebut dapat bermanifestasi dalam bentuk perilaku yang suka
mengamuk, menjadi kasar, agresif atau pendiam, tidak suka bergaul, sulit
berkonsentrasi bahkan melamun menghayalkan orangtuanya akan bersatu kembali. Di
saat-saat labil seperti ini anak menjadi mudah salah langkah, termasuk menuju
ke arah penggunaan obat-obatan terlarang.
Proses
adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima
kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat
beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah
bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi,
tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa
perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan
membawa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai hingga dewasa.
Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut menjadi takut gagal dan
takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis. Bahkan
anak yang telah berhasil beradaptasi bukan berarti tidak mengalami tekanan,
terutama untuk anak laki-laki yang menjadi pengganti fungsi ayah meski ia belum
siap.
Bagaimana
orangtua seharusnya bersikap?
Setiap pasangan tentunya menginginkan keutuhan rumah tangga
yang mereka bina bersama. Yang baik dan paling mendasar adalah
mempertahankan keutuhan rumah tangga itu sendiri dengan adanya saling
pengertian dari kedua belah pihak. Yang harus anda lakukan adalah:
- tenangkan diri guna meredam emosi impulsif, misalnya dengan relaksasi, yoga, bersilaturrahmi, mendatangi tempat-tempat rekreasi, mengheningkan diri dalam doa-doa, dsb.
- introspeksi diri, bicara dengan batin mengenai apa yang diinginkan dan mengapa keinginan itu tidak terpenuhi serta bagaimana mengatasi realita tersebut.
- mintalah nasehat perkawinan untuk membantu mengatasi persolan rumah tangga yang sudah akut. Hal ini bisa anda dapatkan dari pengalaman orang terdekat, buku, guru, tokoh agama hingga konsultan perkawinan untuk mencari solusi dari perselisihan yang dihadapi.
- mendengar dan berbicara secara terbuka dengan pasangan. Saling mendengarkan keluhan pasangan, mencoba memahami jalan pikiran masing-masing akan membuat saling pengertian. Berupaya untuk tidak membicarakan kepribadian negatif masing-masing yang hanya akan memicu pertengkaran kembali.
Bagaimanapun,
jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak
terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua
untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan
psikologis anak-anak mereka?
Berhasil
atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya
ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap
perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua
tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua
yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak
karena hal tersebut bergantung pada pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai
orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang
tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik
dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa saran yang sebaiknya
dilakukan orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau
perceraian terpaksa dilakukan:
- Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segera beritahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama kedua orangtua, melainkan hanya dengan salah satunya
- Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru jika harus pindah rumah. Jika anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Jika ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya
- Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajaknya pergi jalan-jalan
- Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar
- Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salahnya
- Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintainya. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya
- Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu
- Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut
- Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi
- Tidak saling mengritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak
- Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan
- Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam
- Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan
- Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponlah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya dan jawablah pertanyaan tersebut secara baik-baik.
Berdasarkan
saran-saran di atas, terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar
anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan
orangtua bagi sang anak. Hal tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan,
apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian
satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang
pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi jika
itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang
hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa
depan anak. Mungkin ada yang berpikir bahwa anaknya baik-baik saja, tidak ada
masalah apa-apa meskipun tidak ada ibu/ayahnya. Tapi “tahukah Anda apa yang
sebenarnya ada dalam hati sang anak?”
Pada
umumnya dalam perkawinan peran suami dan istri sudah diatur sedemikian rupa
sehingga peran istri adalah memberikan keturunan, mengasuh dan membesarkan
anak, dengan segala kesibukan rumah tangga. Sebaliknya suami atau ayah
memberikan rasa aman, status, dukungan ekonomi, dengan segala aktifitasnya di
luar rumah. Tidak jarang aturan-aturan tersebut diselewengkan sehingga terjadi
kekakuan yang jika dibiarkan dapat berlanjut menjadi keretakan dan kehancuran rumah
tangga itu sendiri.
Kembali
kepada isi undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan
merupakan hal yang sangat penting untuk ditanamkan pada masing-masing pihak,
yaitu suami dan istri. Tujuan yang sama harus benar-benar diresapi oleh anggota
pasangan dan harus disadari bahwa tujuan itu akan dicapai secara bersama-sama,
bukan hanya oleh istri saja atau suami saja. Untuk itu suami-istri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Perbedaan
pendapat itu biasa, namun bila disingkapi dengan pertengkaran hanya akan
mengikis rasa cinta dan kasih sayang, menyebabkan bersemainya rasa benci dan
buruk sangka terhadap pasangan hingga berakhir dengan perceraian. Sementara
perbedaan yang dapat diselesaikan dengan baik akan memberikan pengetahuan baru
mengenai karakter pasangan tersebut dan cara menyingkapinya
Referensi : http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2011/09/21/554/perceraian--solusi-terbaikah-http://khairulyudi.blogspot.com/
Perbedaan
prinsip dan pertengkaran mengakibatkan perceraian, solusi terbaikkah?
Banyak efek yang mengakibatkan kondisi yang tidak menyehatkan dari
proses perceraian. Bertambahnya porsi tekanan psikis, depresi yang
memicu penyakit degeneratif, atau bahkan gangguan pada proses
perkembangan jiwa sang buah hati.
Dewasa ini kian marak pergeseran makna dari hubungan
antara pernikahan dan perceraian. Jika pada masa lalu proses
perceraian dalam pernikahan merupakan suatu momok yang tabu dan aib
untuk dilangsungkan, kini persepsi bahwa bercerai sudah menjadi suatu
fenomena yang umum di masyarakat.
Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam
hidupnya, termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Namun realita
menunjukkan sebaliknya. Angka perceraian semakin meningkat setiap
tahunnya, bahkan gugatan cerai kini paling banyak didapatkan dari pihak
perempuan selaku istri.
Hingga
bulan Oktober 2008 terdapat 84.415 kasus perceraian di Indonesia. Di
wilayah Jakarta saja terdapat 5193 kasus perceraian selama tahun 2008
dengan gugatan terbanyak datang dari istri sebanyak 3.105 kasus.
Perubahan pola cerai gugat yang terjadi sekarang ini
diduga karena adanya beberapa faktor yang menyebabkan, antara lain
adalah keberhasilan pendidikan emansipasi sehingga kaum perempuan
sangat mengetahui hak-hak dan kewajibannya yang dilindungi oleh
undang-undang, pribadi perempuan yang mandiri dan tidak bergantung pada
suami sehingga kata cerai lebih mudah dikeluarkan jika terjadi
perselisihan sepele sekalipun, serta semakin maraknya keberadaan PIL
(Pria Idaman Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) karena mayoritas
perempuan tidak mau dimadu.
Penyebab Perceraian
Adanya
masalah dalam perkawinan merupakan alasan perceraian yang umum
diajukan oleh pasangan suami istri. Alasan tersebut kerap diajukan
apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam
perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk
mempertimbangkan perceraian.
Laki-laki dan perempuan berbeda dalam hal
mengendalikan emosi masing-masing. Laki-laki cenderung mempertahankan
ego dan harga diri mereka dan tidak kuat bila harus mendengar kritik
dan keluhan istri secara terus-menerus.
Sedangkan perempuan cenderung lebih emosional,
senang mengritik dan menangis. Sikap-sikap yang berbeda tersebut
kerapkali memicu pertengkaran bila tidak dihadapi dengan kecerdasan
emosi untuk saling mengerti perasaan masing-masing.
Bahkan alasan sekecil apapun dapat meledak ketika terlibat perdebatan
sehingga menjadi terlalu terbawa emosi, bersikap mementingkan diri
sendiri, berlaku tidak jujur pada pasangan, tidak ada saling menghargai
sesama pasangan, dan kurangnya perhatian terhadap pasangan.
Hal ini terutama dirasakan pada kasus perkawinan di
bawah umur dengan tingkat pendidikan rendah, dimana kedua belah pihak
belum siap mengatasi berbagai pertikaian yang mereka jumpai secara
dewasa. Cara mereka berpikir dan bertindak menentukan cara mereka
mengambil keputusan dalam hidup.
Dampak Perceraian
Tidak
diragukan, perceraian memang memiliki dampak negatif terhadap setiap
pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian
dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan
lawan jenis.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Demografi Universitas Rostock di Jerman, ditemukan bahwa seseorang
berusia > 50 tahun yang memiliki perceraian memiliki waktu hidup 9
tahun lebih pendek daripada mereka yang tidak bercerai. Hal ini diduga
akibat pengaruh besar perceraian pada cara hidup seseorang. Akibat
paling buruk perceraian adalah perubahan gaya hidup seseorang menjadi
lebih buruk yang akan mendekatkannya pada kematian.
Perceraian juga dapat mendatangkan dampak besar yang
buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Pada umumnya orangtua
yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut
dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka
bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang
panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.
Tidak
demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima
keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide
atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Kadangkala, perceraian
adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani
kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya,
perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam
kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik
daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan
perkawinan yang buruk. Bagaimanapun, proses adaptasi terhadap perubahan
tersebutlah yang menyebabkan terjadinya perubahan psikologis anak.
Perceraian umumnya didahulu dengan banyak konflik
dan pertengkaran. Terkadang pertengkaran tersebut masih dapat ditutupi
dari anak, namun tidak jarang anak dapat melihat dan mendengar
pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasannya akan
membuat anak takut, sedih dan bingung. Mereka tidak pernah suka melihat
kedua orangtuanya bertengkar. Anak dapat menjadi pemurung dan
prestasinya menurun. Ditambah dengan masalah perebutan hak asuh anak,
yang membuat anak bingung dan merasa bersalah bila memilih salah satu
dari kedua orangtuanya.
Setelah bercerai, secara hukum ibu memang memiliki
hak pengasuhan anak, tetapi apakah ini yang terbaik? Telah banyak studi
yang meneliti dampak perceraian terhadap perkembangan psikologis anak,
salah satunya membuktikan bahwa remaja yang memiliki orang tua yang
bercerai mengalami kerinduan terhadap figur seorang ayah. Anak
laki-laki memerlukan ayah untuk menjadi laki-laki yang bijaksana
sedangkan anak perempuan memerlukan ayah untuk belajar bagaimana
berhubungan dengan laki-laki. Masing-masing memerlukan penerimaan
sebagai laki- laki dan perempuan sewaktu mereka tumbuh menjadi dewasa.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam batinnya seperti perasaan tidak
aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtua yang pergi, sedih,
kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri
sendiri sebagai penyebab orangtuanya bercerai, namun tidak mampu
mengutarakannya karena takut menambah kepedihan orangtuanya. Akibatnya,
perasaan-perasaan tersebut dapat bermanifestasi dalam bentuk perilaku
yang suka mengamuk, menjadi kasar, agresif atau pendiam, tidak suka
bergaul, sulit berkonsentrasi bahkan melamun menghayalkan orangtuanya
akan bersatu kembali. Di saat-saat labil seperti ini anak menjadi mudah
salah langkah, termasuk menuju ke arah penggunaan obat-obatan
terlarang.
Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada
awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi
bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi
banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun
terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak
mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa
perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi,
maka ia akan membawa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak
dicintai hingga dewasa. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak
tersebut menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat
dengan orang lain atau lawan jenis. Bahkan anak yang telah berhasil
beradaptasi bukan berarti tidak mengalami tekanan, terutama untuk anak
laki-laki yang menjadi pengganti fungsi ayah meski ia belum siap.
Bagaimana orangtua seharusnya bersikap?
Setiap
pasangan tentunya menginginkan keutuhan rumah tangga yang mereka bina
bersama. Yang baik dan paling mendasar adalah mempertahankan keutuhan
rumah tangga itu sendiri dengan adanya saling pengertian dari kedua
belah pihak. Yang harus anda lakukan adalah:
- tenangkan diri guna meredam emosi impulsif, misalnya dengan relaksasi, yoga, bersilaturrahmi, mendatangi tempat-tempat rekreasi, mengheningkan diri dalam doa-doa, dsb.
- introspeksi diri, bicara dengan batin mengenai apa yang diinginkan dan mengapa keinginan itu tidak terpenuhi serta bagaimana mengatasi realita tersebut.
- mintalah nasehat perkawinan untuk membantu mengatasi persolan rumah tangga yang sudah akut. Hal ini bisa anda dapatkan dari pengalaman orang terdekat, buku, guru, tokoh agama hingga konsultan perkawinan untuk mencari solusi dari perselisihan yang dihadapi.
- mendengar dan berbicara secara terbuka dengan pasangan. Saling mendengarkan keluhan pasangan, mencoba memahami jalan pikiran masing-masing akan membuat saling pengertian. Berupaya untuk tidak membicarakan kepribadian negatif masing-masing yang hanya akan memicu pertengkaran kembali.
Bagaimanapun, jika memang perceraian adalah
satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa
tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mengurangi
dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan psikologis
anak-anak mereka?
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi
terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya
sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi
perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan
baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin
sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal
tersebut bergantung pada pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai
orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan
yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya
hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa
saran yang sebaiknya dilakukan orangtua agar anak sukses beradaptasi,
jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan:
- Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segera beritahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama kedua orangtua, melainkan hanya dengan salah satunya
- Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru jika harus pindah rumah. Jika anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Jika ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya
- Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajaknya pergi jalan-jalan
- Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar
- Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salahnya
- Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintainya. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya
- Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu
- Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut
- Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi
- Tidak saling mengritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak
- Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan
- Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam
- Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan
- Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponlah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya dan jawablah pertanyaan tersebut secara baik-baik.
Berdasarkan saran-saran di atas, terlihat jelas
betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi
dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang
anak. Hal tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi jika
perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian satu
sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan
menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian
tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh
merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak
memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir
bahwa anaknya baik-baik saja, tidak ada masalah apa-apa meskipun tidak
ada ibu/ayahnya. Tapi “tahukah Anda apa yang sebenarnya ada dalam hati sang anak?”
Pada umumnya dalam perkawinan peran suami dan istri
sudah diatur sedemikian rupa sehingga peran istri adalah memberikan
keturunan, mengasuh dan membesarkan anak, dengan segala kesibukan rumah
tangga. Sebaliknya suami atau ayah memberikan rasa aman, status,
dukungan ekonomi, dengan segala aktifitasnya di luar rumah. Tidak
jarang aturan-aturan tersebut diselewengkan sehingga terjadi kekakuan
yang jika dibiarkan dapat berlanjut menjadi keretakan dan kehancuran
rumah tangga itu sendiri.
Kembali kepada isi undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan merupakan hal
yang sangat penting untuk ditanamkan pada masing-masing pihak, yaitu
suami dan istri. Tujuan yang sama harus benar-benar diresapi oleh
anggota pasangan dan harus disadari bahwa tujuan itu akan dicapai
secara bersama-sama, bukan hanya oleh istri saja atau suami saja. Untuk
itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
Perbedaan pendapat itu biasa, namun bila disingkapi
dengan pertengkaran hanya akan mengikis rasa cinta dan kasih sayang,
menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan
hingga berakhir dengan perceraian. Sementara perbedaan yang dapat
diselesaikan dengan baik akan memberikan pengetahuan baru mengenai
karakter pasangan tersebut dan cara menyingkapinya
- See more at:
http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2011/09/21/554/perceraian--solusi-terbaikah-#sthash.x1orVbkt.dpuf
Perbedaan
prinsip dan pertengkaran mengakibatkan perceraian, solusi terbaikkah?
Banyak efek yang mengakibatkan kondisi yang tidak menyehatkan dari
proses perceraian. Bertambahnya porsi tekanan psikis, depresi yang
memicu penyakit degeneratif, atau bahkan gangguan pada proses
perkembangan jiwa sang buah hati.
Dewasa ini kian marak pergeseran makna dari hubungan
antara pernikahan dan perceraian. Jika pada masa lalu proses
perceraian dalam pernikahan merupakan suatu momok yang tabu dan aib
untuk dilangsungkan, kini persepsi bahwa bercerai sudah menjadi suatu
fenomena yang umum di masyarakat.
Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam
hidupnya, termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Namun realita
menunjukkan sebaliknya. Angka perceraian semakin meningkat setiap
tahunnya, bahkan gugatan cerai kini paling banyak didapatkan dari pihak
perempuan selaku istri.
Hingga
bulan Oktober 2008 terdapat 84.415 kasus perceraian di Indonesia. Di
wilayah Jakarta saja terdapat 5193 kasus perceraian selama tahun 2008
dengan gugatan terbanyak datang dari istri sebanyak 3.105 kasus.
Perubahan pola cerai gugat yang terjadi sekarang ini
diduga karena adanya beberapa faktor yang menyebabkan, antara lain
adalah keberhasilan pendidikan emansipasi sehingga kaum perempuan
sangat mengetahui hak-hak dan kewajibannya yang dilindungi oleh
undang-undang, pribadi perempuan yang mandiri dan tidak bergantung pada
suami sehingga kata cerai lebih mudah dikeluarkan jika terjadi
perselisihan sepele sekalipun, serta semakin maraknya keberadaan PIL
(Pria Idaman Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) karena mayoritas
perempuan tidak mau dimadu.
Penyebab Perceraian
Adanya
masalah dalam perkawinan merupakan alasan perceraian yang umum
diajukan oleh pasangan suami istri. Alasan tersebut kerap diajukan
apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam
perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk
mempertimbangkan perceraian.
Laki-laki dan perempuan berbeda dalam hal
mengendalikan emosi masing-masing. Laki-laki cenderung mempertahankan
ego dan harga diri mereka dan tidak kuat bila harus mendengar kritik
dan keluhan istri secara terus-menerus.
Sedangkan perempuan cenderung lebih emosional,
senang mengritik dan menangis. Sikap-sikap yang berbeda tersebut
kerapkali memicu pertengkaran bila tidak dihadapi dengan kecerdasan
emosi untuk saling mengerti perasaan masing-masing.
Bahkan alasan sekecil apapun dapat meledak ketika terlibat perdebatan
sehingga menjadi terlalu terbawa emosi, bersikap mementingkan diri
sendiri, berlaku tidak jujur pada pasangan, tidak ada saling menghargai
sesama pasangan, dan kurangnya perhatian terhadap pasangan.
Hal ini terutama dirasakan pada kasus perkawinan di
bawah umur dengan tingkat pendidikan rendah, dimana kedua belah pihak
belum siap mengatasi berbagai pertikaian yang mereka jumpai secara
dewasa. Cara mereka berpikir dan bertindak menentukan cara mereka
mengambil keputusan dalam hidup.
Dampak Perceraian
Tidak
diragukan, perceraian memang memiliki dampak negatif terhadap setiap
pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian
dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan
lawan jenis.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Demografi Universitas Rostock di Jerman, ditemukan bahwa seseorang
berusia > 50 tahun yang memiliki perceraian memiliki waktu hidup 9
tahun lebih pendek daripada mereka yang tidak bercerai. Hal ini diduga
akibat pengaruh besar perceraian pada cara hidup seseorang. Akibat
paling buruk perceraian adalah perubahan gaya hidup seseorang menjadi
lebih buruk yang akan mendekatkannya pada kematian.
Perceraian juga dapat mendatangkan dampak besar yang
buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Pada umumnya orangtua
yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut
dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka
bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang
panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.
Tidak
demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima
keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide
atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Kadangkala, perceraian
adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani
kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya,
perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam
kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik
daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan
perkawinan yang buruk. Bagaimanapun, proses adaptasi terhadap perubahan
tersebutlah yang menyebabkan terjadinya perubahan psikologis anak.
Perceraian umumnya didahulu dengan banyak konflik
dan pertengkaran. Terkadang pertengkaran tersebut masih dapat ditutupi
dari anak, namun tidak jarang anak dapat melihat dan mendengar
pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasannya akan
membuat anak takut, sedih dan bingung. Mereka tidak pernah suka melihat
kedua orangtuanya bertengkar. Anak dapat menjadi pemurung dan
prestasinya menurun. Ditambah dengan masalah perebutan hak asuh anak,
yang membuat anak bingung dan merasa bersalah bila memilih salah satu
dari kedua orangtuanya.
Setelah bercerai, secara hukum ibu memang memiliki
hak pengasuhan anak, tetapi apakah ini yang terbaik? Telah banyak studi
yang meneliti dampak perceraian terhadap perkembangan psikologis anak,
salah satunya membuktikan bahwa remaja yang memiliki orang tua yang
bercerai mengalami kerinduan terhadap figur seorang ayah. Anak
laki-laki memerlukan ayah untuk menjadi laki-laki yang bijaksana
sedangkan anak perempuan memerlukan ayah untuk belajar bagaimana
berhubungan dengan laki-laki. Masing-masing memerlukan penerimaan
sebagai laki- laki dan perempuan sewaktu mereka tumbuh menjadi dewasa.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam batinnya seperti perasaan tidak
aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtua yang pergi, sedih,
kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri
sendiri sebagai penyebab orangtuanya bercerai, namun tidak mampu
mengutarakannya karena takut menambah kepedihan orangtuanya. Akibatnya,
perasaan-perasaan tersebut dapat bermanifestasi dalam bentuk perilaku
yang suka mengamuk, menjadi kasar, agresif atau pendiam, tidak suka
bergaul, sulit berkonsentrasi bahkan melamun menghayalkan orangtuanya
akan bersatu kembali. Di saat-saat labil seperti ini anak menjadi mudah
salah langkah, termasuk menuju ke arah penggunaan obat-obatan
terlarang.
Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada
awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi
bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi
banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun
terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak
mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa
perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi,
maka ia akan membawa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak
dicintai hingga dewasa. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak
tersebut menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat
dengan orang lain atau lawan jenis. Bahkan anak yang telah berhasil
beradaptasi bukan berarti tidak mengalami tekanan, terutama untuk anak
laki-laki yang menjadi pengganti fungsi ayah meski ia belum siap.
Bagaimana orangtua seharusnya bersikap?
Setiap
pasangan tentunya menginginkan keutuhan rumah tangga yang mereka bina
bersama. Yang baik dan paling mendasar adalah mempertahankan keutuhan
rumah tangga itu sendiri dengan adanya saling pengertian dari kedua
belah pihak. Yang harus anda lakukan adalah:
- tenangkan diri guna meredam emosi impulsif, misalnya dengan relaksasi, yoga, bersilaturrahmi, mendatangi tempat-tempat rekreasi, mengheningkan diri dalam doa-doa, dsb.
- introspeksi diri, bicara dengan batin mengenai apa yang diinginkan dan mengapa keinginan itu tidak terpenuhi serta bagaimana mengatasi realita tersebut.
- mintalah nasehat perkawinan untuk membantu mengatasi persolan rumah tangga yang sudah akut. Hal ini bisa anda dapatkan dari pengalaman orang terdekat, buku, guru, tokoh agama hingga konsultan perkawinan untuk mencari solusi dari perselisihan yang dihadapi.
- mendengar dan berbicara secara terbuka dengan pasangan. Saling mendengarkan keluhan pasangan, mencoba memahami jalan pikiran masing-masing akan membuat saling pengertian. Berupaya untuk tidak membicarakan kepribadian negatif masing-masing yang hanya akan memicu pertengkaran kembali.
Bagaimanapun, jika memang perceraian adalah
satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa
tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mengurangi
dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan psikologis
anak-anak mereka?
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi
terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya
sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi
perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan
baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin
sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal
tersebut bergantung pada pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai
orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan
yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya
hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa
saran yang sebaiknya dilakukan orangtua agar anak sukses beradaptasi,
jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan:
- Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segera beritahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama kedua orangtua, melainkan hanya dengan salah satunya
- Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru jika harus pindah rumah. Jika anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Jika ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya
- Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajaknya pergi jalan-jalan
- Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar
- Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salahnya
- Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintainya. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya
- Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu
- Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut
- Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi
- Tidak saling mengritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak
- Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan
- Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam
- Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan
- Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponlah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya dan jawablah pertanyaan tersebut secara baik-baik.
Berdasarkan saran-saran di atas, terlihat jelas
betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi
dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang
anak. Hal tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi jika
perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian satu
sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan
menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian
tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh
merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak
memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir
bahwa anaknya baik-baik saja, tidak ada masalah apa-apa meskipun tidak
ada ibu/ayahnya. Tapi “tahukah Anda apa yang sebenarnya ada dalam hati sang anak?”
Pada umumnya dalam perkawinan peran suami dan istri
sudah diatur sedemikian rupa sehingga peran istri adalah memberikan
keturunan, mengasuh dan membesarkan anak, dengan segala kesibukan rumah
tangga. Sebaliknya suami atau ayah memberikan rasa aman, status,
dukungan ekonomi, dengan segala aktifitasnya di luar rumah. Tidak
jarang aturan-aturan tersebut diselewengkan sehingga terjadi kekakuan
yang jika dibiarkan dapat berlanjut menjadi keretakan dan kehancuran
rumah tangga itu sendiri.
Kembali kepada isi undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan merupakan hal
yang sangat penting untuk ditanamkan pada masing-masing pihak, yaitu
suami dan istri. Tujuan yang sama harus benar-benar diresapi oleh
anggota pasangan dan harus disadari bahwa tujuan itu akan dicapai
secara bersama-sama, bukan hanya oleh istri saja atau suami saja. Untuk
itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
Perbedaan pendapat itu biasa, namun bila disingkapi
dengan pertengkaran hanya akan mengikis rasa cinta dan kasih sayang,
menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan
hingga berakhir dengan perceraian. Sementara perbedaan yang dapat
diselesaikan dengan baik akan memberikan pengetahuan baru mengenai
karakter pasangan tersebut dan cara menyingkapinya
- See more at:
http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2011/09/21/554/perceraian--solusi-terbaikah-#sthash.x1orVbkt.dpuf
Komentar