Apakah Anda Takut Sukses atau Takut Gagal
Pernah ada yang bertanya, "Apakah takut
sukses itu benar-benar ada?". Jangan-jangan cuma alasan takut gagal saja.
Tapi sebelumnya kita ingin bertanya: "apa sih definisi sukses?".
Kalau yg terbayang: punya mobil mewah, rumah besar, karir hebat...mmmm.
..barangkali kurang tepat. Saya lebih suka sukses dikaitkan dengan "I'm
living my passion, I LOVE what I do, I jump out of bed in the morning and
can't wait to start my day, I am sharing my gifts with others...etc. "
Tapi hati-hati juga dengan kalimat manis diatas
karena kita bisa terjebak di comfort zone dan tidak sadar kalau kita punya
potensi. Ada satu kata yang sering dilupakan: "STRETCH". We want our
success to evolve - to represent more of what we want to become. Untuk itu kita
ingin stretch our zone. Dengan stretch we then make plans and take actions.
Katanya lebih banyak orang yg takut gagal
daripada takut mati. Woow..kenapa ya? Kegagalan biasanya dikaitkan dengan
ketidakmampuan seseorang memenuhi harapannya. Entah itu karir, bisnis, akademik
atau relationship. Struktur masyarakat modern diciptakan dari konsep kompetisi.
Survival for the fittest. Untuk survive, kamu harus berhasil. Kalau tidak kamu
gagal dan mati. Begitulah kasarnya.
Orang yang takut gagal belum tentu orang bodoh.
Namun ada mekanisme "self-sabotaging" yang ada dalam dirinya.
Biasanya ini berkaitan dengan keinginan dia untuk tampil perfect. Menjadi idol
yang dikagumi banyak orang. Sayangnya ia justru menjadi terbebani dengan
standar perfection yang berlebihan.
Secara psikologis, orang yang takut sukses dan
takut gagal memiliki isu sama di "willpower". Mungkin kedengarannya
aneh, orang yang takut sukses willpower-nya kecil. Ia cenderung stagnant dan
tidak men-challenge dirinya untuk melakukan hal-hal baru. Orang yang takut
gagal justru willpower-nya besar. Tapi sayangnya ia menyalahgunakan willpower
itu dengan men-sabotase dirinya sendiri. Ia bisa menyusun rencana untuk sebuah
pekerjaan yang luar biasa, tapi tidak melakukan action apapun dan tiba2
perhatiannya beralih ke kegiatan yang lain.
Sekarang kita lihat belief atau pandangan apa
saja yang membuat willpower tidak bisa teraktualisasikan dengan optimal.
"Saya harus sempurna"
"Saya harus jadi nomor satu"
"Saya harus berhasil supaya orang-orang mengagumi saya"
"Kegagalan adalah akhir segalanya"
"Saya akan dihukum kalau saya gagal"
"Saya harus menjaga citra diri"
"Pandangan orang tentang saya harus selalu baik"
"Saya harus jadi nomor satu"
"Saya harus berhasil supaya orang-orang mengagumi saya"
"Kegagalan adalah akhir segalanya"
"Saya akan dihukum kalau saya gagal"
"Saya harus menjaga citra diri"
"Pandangan orang tentang saya harus selalu baik"
"Kalau saya berubah nanti saya jadi orang
lain"
"Saya menghindari tanggung jawab"
"Saya suka menunda pekerjaan"
"Saya merasa kurang berarti"
"Tidak mungkin!" , "Masa sih bisa?"
"Saya tidak tahu bagaimana melakukannya"
"Saya takut ketidakpastiaan"
"Saya menghindari tanggung jawab"
"Saya suka menunda pekerjaan"
"Saya merasa kurang berarti"
"Tidak mungkin!" , "Masa sih bisa?"
"Saya tidak tahu bagaimana melakukannya"
"Saya takut ketidakpastiaan"
Kalau kita telusuri lebih dalam, takut sukses dan
takut gagal biasanya timbul karena adanya emotional atau sexual abuse di masa
kecil. Core beliefnya adalah feeling unwanted. Sayangnya orang tua yang
semestinya berperan positif dalam perkembangan si anak justru tanpa sadar
melakukan abuse sehingga ketika beranjak dewasa si anak menjadi pribadi yang
takut. Emosi si ibu pada saat mengandung tentunya juga membentuk karakter awal
si anak. Lingkungan, termasuk teman2, juga berperan dalam pembangunan kejiwaan
si anak. Environment affects gen.
Abuse ini bisa diamati dengan mudah di tubuh
kita. Tubuh sebelah kiri menyimpan emotional abuse. Beberapa orang yang saya
temui mengeluh tubuh sebelah kirinya pegal, lemah dan gampang sakit. Bisa ditebak,
setelah ditelusuri mereka menyimpan memori emotional abuse pada saat kecil.
Tubuh sebelah kanan menyimpan sexual abuse.
Gejalanya hampir mirip dengan emotional abuse. Terasa lemah, tapi juga bisa
kaku dan terasa berat.
Kabar baiknya, kita bisa keluar dari kondisi
terbatas ini asal punya willpower yang kuat. Terapi menfasilitasi perubahan,
sementara diri sendirilah yang menjalankan perubahan itu. Willpower ini katanya
menunggu untuk dibangkitkan. Bukan besok atau lusa tapi seperti orang bijak
bilang, "Kalau tidak sekarang kapan lagi?"
Komentar